Bid’ah yang dipermasalahkan
Daftar isi Bab 4 ini diantaranya: |
Apa yang dimaksud Bid’ah dalam hadits Rasulallah saw.?
Contoh-contoh Bid’ah yang diamalkan para Sahabat pada zaman Nabi saw.
Dalil-dalil yang berkaitan dengan Qadha dalam Sholat
Sholat sunnah Qabliyah (sebelum) sholat Jum’at
Mengangkat tangan waktu berdo’a
Menyebut nama Rasul saw.dengan awalan kata sayyidina
Penggunaan Tasbih waktu berdzikir bukanlah bid’ah sesat.
|
marilah kita teruskan mengupas apa yang dimaksud Bid’ah menurut syari’at Islam serta wejangan/ pandangan para ulama pakar tentang masalah ini. Dengan demikian insya Allah buat kita lebih jelas bidáh mana yang dilarang dan yang dibolehkan dalam syari’at Islam.
Sunnah dan bid’ah
adalah dua soal yang saling berhadap-hadapan dalam memahami
ucapan-ucapan Rasulallah saw. sebagai Shohibusy-Syara’ (yang berwenang
menetapkan hukum syari’at). Sunnah dan bid’ah masing-masing tidak dapat
ditentukan batas-batas pengertiannya, kecuali jika yang satu sudah
ditentukan batas pengertiannya lebih dulu. Tidak sedikit orang yang
menetap- kan batas pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu batas pengertian sunnah.
Karena
itu mereka terperosok kedalam pemikiran sempit dan tidak dapat keluar
meninggalkannya, dan akhirnya mereka terbentur pada dalil-dalil yang
berlawanan dengan pengertian mereka sendiri tentang bid’ah. Seandainya
mereka menetapkan batas pengertian sunnah lebih dulu tentu mereka akan
memperoleh kesimpulan yang tidak berlainan. Umpamanya dalam hadits
berikut ini tampak jelas bahwa Rasulallah saw. menekankan soal sunnah lebih dulu, baru kemudian memperingatkan soal bid’ah.
Hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya dari Jabir ra. bahwa
Rasulallah saw. bila berkhutbah tampak matanya kemerah-merahan dan
dengan suara keras bersabda: ‘Amma ba’du, sesungguhnya tutur kata yang terbaik ialah Kitabullah (Al-Qur’an) dan petunjuk (huda)
yang terbaik ialah petunjuk Muhammad saw. Sedangkan persoalan yang
terburuk ialah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap hal yang
diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat’. (diketengahkan juga oleh Imam Bukhori hadits dari Ibnu Mas’ud ra).
Makna
hadits diatas ini diperjelas dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dari Jarir ra. bahwa Rasulallah saw. bersabda: ‘Barangsiapa
yang didalam Islam merintis jalan kebajikan ia memperoleh pahalanya dan
pahala orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun
juga. Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kejahatan ia
memikul dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa
dikurangi sedikit pun juga’ (Shohih Muslim V11 hal.61).
Selain hadits ini masih beredar lagi hadits-hadits yang semakna yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Mas’ud dan dari Abu Hurairah
[ra].
Sekalipun hadits ini berkaitan dengan soal shadaqah namun kaidah pokok yang telah disepakati bulat oleh para ulama menetapkan; ‘Pengertian berdasar kan keumuman lafadh, bukan berdasarkan kekhususan sebab’.
Dari
hadits Jabir yang pertama diatas kita mengetahui dengan jelas bahwa
Kitabullah dan petunjuk Rasulallah saw., berhadap-hadapan dengan bid’ah,
yaitu sesuatu yang diada-adakan yang menyalahi Kitabullah dan petunjuk
Rasulallah saw. Dari hadits berikutnya kita melihat bahwa jalan
kebajikan (sunnah hasanah) berhadap-hadapan dengan jalan kejahatan
(sunnah sayyiah). Jadi jelaslah, bahwa yang pokok adalah Sunnah, sedangkan yang menyimpang dan berlawanan dengan sunnah adalah Bid’ah .
Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam kitab Mufradatul-Qur’an Bab Sunan hal.245 mengatakan: ‘Sunan adalah jamak dari kata sunnah
.Sunnah sesuatu berarti jalan sesuatu, sunnah Rasulallah saw. berarti
Jalan Rasulallah saw. yaitu jalan yang ditempuh dan ditunjukkan oleh
beliau. Sunnatullah dapat diartikan Jalan hikmah-Nya dan jalan mentaati-Nya. . Contoh firman Allah swt. dalam surat Al-Fatah : 23 : ‘Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu. Kalian tidak akan menemukan perubahan pada Sunnatullah itu’ .
Penjelasannya
ialah bahwa cabang-cabang hukum syari’at sekalipun berlainan bentuknya,
tetapi tujuan dan maksudnya tidak berbeda dan tidak berubah, yaitu
membersihkan jiwa manusia dan mengantarkan kepada keridhoan Allah swt.
Demikianlah Ar-Raghib Al-Ashfahani.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratul Mustaqim hal.76 mengata- kan: ‘Sunnah Jahiliyah adalah adat kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat jahiliyyah. Jadi kata sunnah dalam hal itu berarti adat kebiasaan yaitu
jalan atau cara yang berulang-ulang dilakukan oleh orang banyak, baik
mengenai soal-soal yang dianggap sebagai peribadatan maupun yang tidak
dianggap sebagai peribadatan’.
Demikian juga dikatakan oleh Imam Al-Hafidh didalam Al-Fath dalam tafsirnya mengenai makna kata Fithrah. Ia mengatakan, bahwa beberapa riwayat hadits menggunakan kata sunnah sebagai pengganti kata fithrah, dan bermakna thariqah atau jalan. Imam Abu Hamid dan Al-Mawardi juga mengartikan kata sunnah dengan thariqah (jalan).
Karena
itu kita harus dapat memahami sunnah Rasulallah saw. dalam menghadapi
berbagai persoalan yang terjadi pada zamannya, yaitu persoalan-persoalan
yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diperintahkan oleh
beliau saw., tetapi dipahami dan dilakukan oleh orang-orang yang berijtihad menurut kesanggupan akal pikirannya dengan tetap berpedoman pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulallah saw.
Kita
juga harus mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu agar kita
dapat memahami jalan atau sunnah yang ditempuh Rasulallah saw. dalam
membenarkan, menerima atau menolak sesuatu yang dilakukan orang. Dengan
mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu kita dapat mempunyai
keyakinan yang benar dalam memahami sunnah beliau saw. mengenai
soal-soal baru yang terjadi sepeninggal Rasulallah saw. Mana yang baik dan sesuai dengan Sunnah beliau saw., itulah yang kita namakan Sunnah, dan mana yang buruk, tidak sesuai dan bertentangan dengan Sunnah Rasulallah saw., itulah yang kita namakan Bid’ah. Ini semua baru dapat kita ketahui setelah kita dapat membedakan lebih dahulu mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.
Mungkin
ada orang yang mengatakan bahwa sesuatu kejadian yang dibiarkan (tidak
dicela dan tidak dilarang) oleh Rasulallah saw. termasuk kategori sunnah. Itu memang benar, akan tetapi kejadian yang dibiarkan oleh beliau itu merupakan petunjuk
juga bagi kita untuk dapat mengetahui bagaimana cara Rasulallah saw.
membiarkan atau menerima kenyataan yang terjadi. Perlu juga diketahui
bahwa banyak sekali kejadian yang dibiarkan Rasulallah saw. tidak
menjadi sunnah dan tidak ada seorangpun yang mengatakan itu
sunnah. Sebab, apa yang diperbuat dan dilakukan oleh beliau saw. pasti
lebih utama, lebih afdhal dan lebih mustahak diikuti. Begitu juga suatu
kejadian atau perbuatan yang didiamkan atau dibiarkan oleh beliau saw.
merupakan petunjuk bagi kita bahwa beliau saw. tidak menolak sesuatu yang baik, jika yang baik itu tidak bertentangan dengan tuntunan dan petunjuk beliau saw. serta tidak mendatangkan akibat buruk !
Itulah yang dimaksud oleh kesimpulan para ulama yang mengatakan, bahwa sesuatu
yang diminta oleh syara’ baik yang bersifat khusus maupun umum,
bukanlah bid’ah, kendati pun sesuatu itu tidak dilakukan dan tidak
diperintah- kan secara khusus oleh Rasulallah saw.! Mengenai
persoalan itu banyak sekali hadits shohih dan hasan yang menunjukkan
bahwa Rasulallah saw. sering membenarkan prakarsa baik (umpama amal
perbuatan, dzikir, do’a dan lain sebagainya) yang diamalkan oleh para sahabatnya.(silahkan
baca halaman selanjutnya). Tidak lain para sahabat mengambil prakarsa
dan mengerjakan- nya berdasarkan pemikiran dan keyakinannya sendiri,
bahwa yang dilakukan- nya itu merupakan kebajikan yang dianjurkan oleh
agama Islam dan secara umum diserukan oleh Rasulallah saw. (lihat hadits
yang lalu) begitu juga mereka berpedoman pada firman Allah swt. dalam
surat Al-Hajj:77: ‘Hendaklah kalian berbuat kebajikan, agar kalian memperoleh keberuntungan’ .
Walaupun para sahabat berbuat amalan atas dasar prakarsa masing-masing, itu tidak berarti setiap orang
dapat mengambil prakarsa, karena agama Islam mempunyai kaidah-kaidah
dan pedoman-pedoman yang telah ditetapkan batas-batasnya. Amal kebajikan
yang prakarsanya diambil oleh para sahabat Nabi saw. berdasarkan ijtihad dapat dipandang sejalan dengan sunnah Rasulallah saw. jika amal kebajikan itu sesuai dan tidak bertentangan dengan syari’at. Jika menyalahi ketentuan syari’at maka prakarsa itu tidak dapat dibenarkan dan harus ditolak !
Pada
dasarnya semua amal kebajikan yang sejalan dengan tuntutan syari’at,
tidak bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw, dan
tidak mendatangkan madharat/akibat buruk, tidak dapat disebut Bid’ah menurut pengertian istilah syara’. Nama yang tepat adalah Sunnah Hasanah, sebagaimana yang terdapat dalam hadits Rasulallah saw. yang lalu.
Amal kebajikan seperti itu dapat disebut ‘Bid’ah’ hanya menurut pengertian bahasa, karena apa saja yang baru ‘diadakan’ disebut dengan nama Bid’ah.
Ada orang berpegang bahwa istilah bid’ah itu hanya satu saja dengan berdalil sabda Rasulallah saw. “Setiap bid’ah adalah sesat…” (“Kullu bid’atin dholalah”), serta tidak ada istilah bid’ah hasanah, wajib
dan sebagainya. Setiap amal yang dikategorikan sebagai bid’ah, maka
hukumya haram, karena bid’ah dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang
haram dikerja- kan secara mutlak.
Sayangnya
mereka ini tidak mau berpegang kepada hadits–hadits lain (keterangan
lebih mendetail baca halaman selanjutnya) yang membuktikan sikap
Rasulallah saw. yang membenarkan dan meridhoi berbagai amal kebajikan
tertentu (yang baru ‘diadakan’ ) yang dilakukan oleh para sahabat- nya
yang sebelum dan sesudahnya tidak ada perintah dari beliau saw.!
Disamping
itu banyak sekali amal kebajikan yang dikerjakan setelah wafatnya
Rasulallah saw. umpamanya oleh isteri Nabi saw. ‘Aisyah ra, Khalifah
‘Umar bin Khattab serta para sahabat lainnya yang mana amalan-amalan
ini tidak pernah adanya petunjuk dari Rasulallah saw. dan
mereka kategorikan atau ucapkan sendiri sebagai amalan bid’ah (baca uraian selanjutnya), tetapi tidak ada satupun dari para sahabat yang mengatakan bahwa sebutan bid’ah itu adalah otomatis haram, sesat dan tidak ada kata bid’ah selain haram.
Untuk mencegah timbulnya kesalah-fahaman mengenai kata Bid’ah itulah para Imam dan ulama Fiqih memisahkan makna Bid’ah menjadi beberapa jenis, misalnya :
Menurut Imam Syafi’i tentang pemahaman bid’ah ada dua riwayat yang menjelaskannya.
Pertama, riwayat Abu Nu’aim;
اَلبِدْعَة
ُبِدْعَتَانِ , بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِيْمَا
وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ
مَذْمُومْ.
‘Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela.
Bid’ah yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid’ah yang terpuji
sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang tercela’.
Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
. اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ
وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٌ
‘Perkara-perkara
baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang menyalahi
Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah bid’ah dholalah/
sesat. Kedua, adalah perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan
tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka
bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’.
Menurut
kenyataan memang demikian, ada bid’ah yang baik dan terpuji dan ada
pula bid’ah yang buruk dan tercela. Banyak sekali para Imam dan ulama
pakar yang sependapat dengan Imam Syafi’i itu. Bahkan banyak lagi yang
menetapkan perincian lebih jelas lagi seperti Imam Nawawi, Imam Ibnu
‘Abdussalam, Imam Al-Qurafiy, Imam Ibnul-‘Arabiy, Imam Al-Hafidh Ibnu
Hajar dan lain-lain.
Ada
sebagian ulama yang mengatakan bahwa bid’ah itu adalah segala praktek
baik termasuk dalam ibadah ritual maupun dalam masalah muamalah, yang
tidak pernah terjadi di masa Rasulullah saw. Meski namanya bid’ah, namun
dari segi ketentuan hukum syari’at,, hukumnya tetap terbagi menjadi
lima perkara sebagaimana hukum dalam fiqih. Ada bid’ah yang hukumnya
haram, wajib, sunnah, makruh dan mubah.
Menurut
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari 4/318 sebagai berikut:
“Pada asalnya bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada
contoh yang mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu dipergunakan untuk
sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang
tepat bahwa bid’ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang
dianggap baik menurut syara’, maka dia menjadi baik dan jika dia
termasuk diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh syara’, maka dia
menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang mubah.
Dan terkadang bid’ah itu terbagi kepada hukum-hukum yang lima”.
Pendapat beliau ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut ini :
Jalaluddin
as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid fii ‘Amalil Maulid dan
juga dalam risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih; Az-Zarqooni
dalam Syarah al Muwattho’ ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowaa’id ;
As-Syaukani dalam Nailul Author ; Ali al Qoori’ dalam Syarhul Misykaat;
Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori, dan masih
banyak lagi ulama lainnya yang senada dengan Ibnu Hajr ini yang tidak
saya kutip disini.
Ada
golongan lagi yang menganggap semua bidáh itu dholalah/sesat dan tidak
mengakui adanya bidáh hasanah/mahmudah, tetapi mereka sendiri ada yang
membagi bidáh menjadi beberapa macam. Ada bidáh mukaffarah (bidáh kufur), bidáh muharramah (bidáh haram) dan bidáh makruh (bidáh yang tidak disukai). Mereka tidak menetapkan adanya bidáh mubah,
seolah-olah mubah itu tidak termasuk ketentuan hukum syariát, atau
seolah-olah bidáh diluar bidang ibadah tidak perlu dibicarakan.
Sedangkan
menurut catatan As-Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki Al-Hasani (salah
seorang ulama Mekkah) dalam makalahnya yang berjudul Haulal-Ihtifal Bil
Maulidin Nabawayyisy Syarif ( Sekitar Peringatan Maulid Nabi Yang
Mulia) bahwa menurut ulama (diantraranya Imam Nawawi dalam Syarah Muslim
jilid 6/154—pen.) bid’ah itu dibagi menjadi lima bagian yaitu :
1. Bid’ah wajib; seperti menyanggah orang yang menyelewengkan agama, dan belajar bahasa Arab, khususnya ilmu Nahwu.
2. Bid’ah mandub/baik;
seperti membentuk ikatan persatuan kaum muslimin, mengadakan
sekolah-sekolah, mengumandangkan adzan diatas menara dan memakai
pengeras suara, berbuat kebaikan yang pada masa pertumbuh an Islam belum
pernah dilakukan.
3. Bid’ah makruh;
menghiasi masjid-masjid dengan hiasan-hiasan yang bukan pada tempatnya,
mendekorasikan kitab-kitab Al-Qur’an dengan lukisan-lukisan dan
gambar-gambar yang tidak semestinya.
4. Bid’ah mubah;
seperti menggunakan saringan (ayakan), memberi warna-warna pada makanan
(selama tidak mengganggu kesehatan) dan lain sebagainya.
5. Bid’ah haram;
semua perbuatan yang tidak sesuai dengan dalil-dalil umum hukum
syari’at dan tidak mengandung kemaslahatan yang dibenarkan oleh
syari’at.
Bila
semua bid’ah (masalah yang baru) adalah dholalah/sesat atau haram, maka
sebagian amalan-amalan para sahabat serta para ulama yang belum pernah
dilakukan atau diperintahkan Rasulallah saw. semuanya dholalah atau
haram, misalnya :
a).
Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an, penulisannya serta pengumpulannya
(kodifikasinya) sebagai Mushhaf (Kitab) yang dilakukan oleh sahabat
Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit [ra] adalah haram.
Padahal tujuan mereka untuk menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan
keautentikan ayat-ayat Allah. Mereka khawatir kemungkinan ada ayat-ayat
Al-Qur’an yang hilang karena orang-orang yang menghafalnya meninggal.
b). Perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarawih berma’mum pada seorang imam adalah haram. Bahkan ketika itu beliau sendiri berkata : ‘Bid’ah ini sungguh nikmat’.
c).
Pemberian gelar atau titel kesarjanaan seperti; doktor, drs dan
sebagai- nya pada universitas Islam adalah haram, yang pada zaman
Rasulallah saw. cukup banyak para sahabat yang pandai dalam belajar ilmu
agama, tapi tak satupun dari mereka memakai titel dibelakang namanya.
d).
Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah sakit,
panti asuhan untuk anak yatim piatu, membangun penjara untuk mengurung
orang yang bersalah berbulan-bulan atau bertahun-tahun baik itu kesalahan kecil maupun besar dan sebagainya adalah haram. Sebab dahulu orang yang bersalah diberi hukumannya tidak harus dikurung dahulu.
e).
Tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at yang dilaksanakan pada zamannya
khalifah Usman ra. Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu
sholat Jum’at baik di Indonesia, di masjid Haram Mekkah dan Madinah dan
negara-negara Islam lainnya. Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman
karena bertambah banyaknya ummat Islam.
f).
Menata ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi titik pada huruf-hurufnya,
memberi nomer pada ayat-ayatnya. Mengatur juz dan rubu’nya dan
tempat-tempat dimana dilakukan sujud tilawah, menjelaskan ayat Makkiyyah
dan Madaniyyah pada kof setiap surat dan sebagainya.
g). Begitu juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah
swt. kepada ummat Muhammad saw… Kita tidak terikat harus meneruskan
cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya
Nabi saw., lalu menolak atau melarang penggunaan pesawat-pesawat tempur,
tank-tank raksasa, peluru-peluru kendali, raket-raket dan persenjataan
modern lainnya.
Masih
banyak lagi contoh-contoh bid’ah/masalah yang baru seperti mengada kan
syukuran waktu memperingati hari kemerdekaan, halal bihalal, memper-
ingati hari ulang tahun berdirinya sebuah negara atau pabrik dan
sebagainya (pada waktu memperingati semua ini mereka sering mengadakan
bacaan syukuran), yang mana semua ini belum pernah dilakukan pada masa
hidup- nya Rasulallah saw. serta para pendahulu kita dimasa lampau. Juga
didalam manasik haji banyak kita lihat dalam hal peribadatan tidak
sesuai dengan zamannya Rasulallah saw. atau para sahabat dan tabi’in
umpamanya; pembangunan hotel-hotel disekitar Mina dan tenda-tenda yang
pakai full a/c sehingga orang tidak akan kepanasan, nyenyak tidur,
menaiki mobil yang tertutup (beratap) untuk ke Arafat, Mina atau kelain
tempat yang dituju untuk manasik Haji tersebut dan lain sebagainya.
Sesungguhnya
bid’ah (masalah baru) tersebut walaupun tidak pernah dilakukan pada
masa Nabi saw. serta para pendahulu kita, selama masalah ini tidak
menyalahi syari’at Islam, bukan berarti haram untuk dilakukan.
Kalau
semua masalah baru tersebut dianggap bid’ah dholalah (sesat), maka akan
tertutup pintu ijtihad para ulama, terutama pada zaman sekarang
tehnologi yang sangat maju sekali, tapi alhamdulillah pikiran dan akidah
sebagian besar umat muslim tidak sedangkal itu.
Sebagaimana
telah penulis cantumkan sebelumnya bahwa para ulama diantaranya Imam
Syafi’i, Al-Izz bin Abdis Salam, Imam Nawawi dan Ibnu Atsir ra. serta
para ulama lainnya menerangkan: “Bid’ah/masalah baru yang diadakan ini
bila tidak menyalahi atau menyimpang dari garis-garis syari’at, semuanya
mustahab (dibolehkan) apalagi dalam hal kebaikan dan sejalan dengan
dalil syar’i adalah bagian dari agama”.
Semua
amal kebaikan yang dilakukan para sahabat, kaum salaf sepeninggal
Rasulallah saw. telah diteliti para ulama dan diuji dengan Kitabullah,
Sunnah Rasulallah saw. dan kaidah-kaidah hukum syari’at. Dan setelah
diuji ternyata baik, maka prakarsa tersebut dinilai baik dan dapat
diterima. Sebaliknya, bila setelah diuji ternyata buruk, maka hal
tersebut dinilai buruk dan dipandang sebagai bid’ah tercela.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratil-Mustaqim banyak
menyebutkan bentuk-bentuk kebaikan dan sunnah yang dilakukan oleh
generasi-generasi yang hidup pada abad-abad permulaan Hijriyyah dan
zaman berikutnya. Kebajikan-kebajikan yang belum pernah dikenal pada
masa hidupnya Nabi Muhammad saw. itu diakui kebaikannya oleh Ibnu
Taimiyyah. Beliau tidak melontarkan celaan terhadap
ulama-ulama terdahulu yang mensunnahkan kebajikan tersebut, seperti
Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Abbas, Umar bin Khattab dan lain-lainnya.
Diantara
kebajikan yang disebutkan oleh beliau dalam kitabnya itu ialah pendapat
Imam Ahmad bin Hanbal diantaranya : Mensunnahkan orang berhenti sejenak
disebuah tempat dekat gunung ‘Arafah sebelum wukuf dipadang ‘Arafah bukannya didalam masjid tertentu sebelum Mekkah , mengusap-usap mimbar Nabi saw. didalam masjid Nabawi di Madinah, dan lain sebagainya.
Ibnu Taimiyyah membenarkan pendapat kaum muslimin di Syam yang mensunnahkan shalat disebuah tempat dalam masjid Al-aqsha (Palestina),
tempat khalifah Umar dahulu pernah menunaikan sholat. Padahal sama
sekali tidak ada nash mengenai sunnahnya hal-hal tersebut diatas. Semua-
nya hanyalah pemikiran atau ijtihad mereka sendiri dalam rangka usaha
memperbanyak kebajikan, hal mana kemudian diikuti oleh orang banyak
dengan i’tikad jujur dan niat baik. Meskipun begitu, dikalangan muslimin
pada masa itu tidak ada yang mengatakan: “Kalau hal-hal itu
baik tentu sudah diamalkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar pada zaman
sebelum- nya”. (perkataan ini sering diungkapkan oleh golongan
pengingkar).
Masalah-masalah serupa itu banyak disebut oleh Ibnu Taimiyyah dikitab Iqtidha ini, antara lain soal tawassul (doá perantaran) yang dilakukan oleh isteri Rasulallah saw. ‘Aisyah ra. yaitu ketika ia membuka penutup
makam Nabi saw. lalu sholat istisqa (sholat mohon hujan) ditempat itu,
tidak beberapa lama turunlah hujan di Madinah, padahal tidak ada nash
sama sekali mengenai cara-cara seperti itu. Walaupun itu hal yang baru
(bid’ah) tapi dipandang baik oleh kaum muslimin, dan tidak ada sahabat
yang mencela dan mengatakan bid’ah dholalah/sesat.
Sebuah
hadits yang diketengahkan oleh Imam Bukhori dalam shohihnya jilid 1
halaman 304 dari Siti ‘Aisyah ra., bahwasanya ia selalu sholat Dhuha,
padahal Aisyah ra. sendiri berkata bahwa ia tidak pernah
menyaksikan Rasulallah saw. sholat dhuha. Pada halaman 305 dibuku ini
Imam Bukhori juga mengetengahkan sebuah riwayat yang berasal dari Mujahid yang
mengatakan : “Saya bersama Úrwah bin Zubair masuk kedalam masjid Nabi
saw.. Tiba-tiba kami melihat ‘Abdullah bin Zubair sedang duduk dekat
kamar ‘Aisyah ra dan banyak orang lainnya sedang sholat dhuha. Ketika
hal itu kami tanyakan kepada ‘Abudllah bin Zubair (mengenai sholat dhuha
ini) ia menjawab : “Bidáh”.
‘Aisyah
ra seorang isteri Nabi saw. yang terkenal cerdas, telah mengatakan
sendiri bahwa dia sholat dhuha sedangkan Nabi saw. tidak
mengamalkannya. Begitu juga ‘Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mengatakan
sholat dhuha adalah bid’ah, tetapi tidak seorangpun yang mengatakan bahwa bid’ah itu bid’ah dholalah yang pelakunya akan dimasukkan keneraka!
Dengan demikian masalah baru yang dinilai baik dan dapat diterima ini disebut bid’ah hasanah.
Karena sesuatu yang diperbuat atau dikerjakan oleh isteri Nabi atau
para sahabat yang tersebut diatas bukan atas perintah Allah dan
Rasul-Nya itu bisa disebut bid’ah tapi sebagai bid’ah hasanah. Semuanya ini dalam pandangan hukum syari’at bukan bid’ah melainkan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad.
Dalam makalah As-Sayyid Muhammad bin Alawiy Al-Maliki Al-Hasani rh yang berjudul Haulal Ihtifal bil Mauliddin Nabawiyyisy Syarif
tersebut disebut- kan: Yang dikatakan oleh orang fanatik (extreem)
bahwa apa-apa yang belum pernah dilakukan oleh kaum salaf, tidaklah
mempunyai dalil bahkan tiada dalil sama sekali bagi hal itu. Ini bisa
dijawab bahwa tiap orang yang mendalami ilmu ushuluddin mengetahui bahwa
Asy-Syar’i (Rasulallah saw.) menyebutnya bid’ahtul hadyi (bid’ah dalam menentukan petunjuk pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya) sunnah, dan menjanjikan pahala bagi pelakunya.
Firman Allah swt. ‘Dan
hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang
beruntung’. (Ali Imran (3) : 104).
Allah swt. berfirman : ‘Hendaklah kalian berbuat kebaikan agar kalian memperoleh keuntungan”. (Al-Hajj:77)
Abu Mas’ud (Uqbah) bin Amru Al-Anshory ra berkata; bersabda Rasulallah saw.;
‘Siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala sama dengan yang mengerjakannya’. ( HR.Muslim)
Dalam hadits riwayat Muslim Rasulallah saw. bersabda:
‘Barangsiapa
menciptakan satu gagasan yang baik dalam Islam maka dia memperoleh
pahalanya dan juga pahala orang yang melaksanakannya dengan tanpa
dikurangi sedikitpun, dan barangsiapa menciptakan satu gagasan yang
jelek dalam Islam maka dia terkena dosanya dan juga dosa orang-orang
yang mengamalkannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun” .
Masih banyak lagi hadits yang serupa/semakna diatas riwayat Muslim dari Abu Hurairah dan dari Ibnu Mas’ud ra.
Sebagian golongan memberi takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah dalam hadits diatas adalah; Apa-apa
yang telah ditetapkan oleh Rasulallah saw. dan para Khulafa’ur
Roosyidin, bukan gagasan-gagasan baik yang tidak terjadi pada masa
Rasulallah saw dan Khulafa’ur Rosyidin. Yang lain lagi memberikan takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah hasanah dalam hadits itu adalah; sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang
mendatangkan manfaat, sedangkan maksud sunnah sayyiah/buruk adalah
sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang mendatangkan bahaya dan kemudharatan.
Dua
macam pembatasan mereka diatas ini mengenai makna hadits yang telah
kami kemukakan itu merupakan satu bentuk pembatasan hadits dengan tanpa dalil, karena secara jelas hadits tersebut membenarkan adanya gagasan-gagasan kebaikan pada masa kapanpun dengan tanpa ada pembatasan pada masa-masa tertentu. Juga secara jelas hadits itu menunjuk kepada semua perkara yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului baik dia itu dari perkara-perkara dunia ataupun perkara-perkara agama!!
Kami perlu tambahkan mengenai makna atau keterangan hadits Rasulallah saw. berikut ini:
“Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidun sepeninggalku”. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).
Yang dimaksud sunnah dalam hadits itu adalah thariqah yakni jalan (baca keterangan sebelumnya), cara atau kebijakan; dan yang dimaksud Khalifah Rasyidun ialah para penerus kepemimpinan beliau yang lurus .Sebutan itu tidak terbatas berlaku bagi empat Khalifah sepeninggal Rasulallah saw. saja, tetapi dapat diartikan lebih luas, berdasarkan makna Hadits yang lain : “Para ulama adalah ahli-waris para Nabi “. Dengan
demikian hadits itu dapat berarti dan berlaku pula para ulama
dikalangan kaum muslimin berbagai zaman, mulai dari zaman kaum Salaf
(dahulu), zaman kaum Tabi’in, Tabi’it-Tabi’in dan seterusnya; dari
generasi ke generasi, mereka adalah Ulul-amri yang disebut dalam
Al-Qur’an surat An-Nisa : 63 : “Sekiranya mereka menyerahkan (urusan itu) kepada Rasulallah dan Ulul-amri (orang-orang yang mengurus kemaslahatan ummat) dari mereka sendiri, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui dari mereka (ulul-amri)”.
Para alim-ulamabukan kaum awamyang
mengurus kemaslahatan ummat Islam, khususnya dalam kehidupan beragama.
Sebab, mereka itulah yang mengetahui ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum
agama. Ibnu Mas’ud ra. menegaskan : “Allah telah memilih Muhammad saw. (sebagai Nabi dan Rasulallah)
dan telah pula memilih sahabat-sahabatnya. Karena itu apa yang
dipandang baik oleh kaum muslimin, baik pula dalam pandangan Allah ” . Demikian yang diberitakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnad-nya dan dinilainya sebagai hadits Hasan (hadits baik).
Dengan pengertian penakwilan kalimat sunnah dalam hadits diatas yang salah ini golongan tertentu ini dengan mudah membawa keumuman hadits kullu bid’atin dholalah
(semua bid’ah adalah sesat) terhadap semua perkara baru, baik yang
bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at maupun yang tidak.
Berarti mereka telah mencampur-aduk kata bid’ah itu antara penggunaannya
yang syar’i dan yang lughawi (secara bahasa) dan mereka telah terjebak dengan ketidak pahaman bahwa keumuman yang terdapat pada hadits hanyalah terhadap bid’ah yang syar’i yaitu setiap perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar syari’at. Jadi bukan terhadap bid’ah yang lughawi yaitu setiap perkara baru yang diadakan dengan tanpa adanya contoh.
Bid’ah lughawi inilah yang terbagi dua yang pertama adalah mardud yaitu perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang disebut bid’ah dholalah, sedangkan yang kedua adalah kepada yang maqbul yaitu perkara baru yang tidak bertentangan
dengan nash dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang dapat diterima
walaupun terjadinya itu pada masa-masa dahulu/pertama atau sesudahnya.
Barangsiapa yang memasukkan semua perkara baru yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw, para sahabat dan mereka yang hidup pada abad-abad pertama itu kedalam bid’ah dholalah, maka dia haruslah mendatangkan terlebih dahulu nash-nash yang khos (khusus) untuk masalah yang baru itu maupun yang ‘am (umum), agar yang demikian itu tidak bercampur-aduk dengan bid’ah yang maqbul berdasarkan penggunaannya yang lughawi. Karena tuduhan bid’ah dholalah pada suatu amalan sama halnya dengan tuduhan mengharamkan amalan tersebut.
Kalau
kita baca hadits dan firman Ilahi dibuku ini, kita malah diharuskan
sebanyak mungkin menjalankan ma’ruf (kebaikan) yaitu semua perbuatan
yang mendekatkan kita kepada Allah swt. dan menjauhi yang mungkar (keburukan) yaitu semua perbuatan yang menjauhkan
kita dari pada-Nya agar kita memperoleh keuntungan (pahala dan
kebahagian didunia maupun diakhirat kelak). Begitupun juga orang yang
menunjukkan kepada kebaikan tersebut akan diberi oleh Allah swt. pahala
yang sama dengan orang yang mengerjakannya.
Apakah kita hanya berpegang pada satu hadits yang kalimatnya: semua bid’ah dholalah dan kita buang ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain yang menganjurkan manusia selalu berbuat kepada kebaikan? Sudah tentu Tidak! Yang
benar ialah bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah
diterima kebenarannya oleh jumhurul-ulama serta tidak hanya melihat
tekstual kalimatnya saja tapi memahami makna dan motif setiap ayat Ilahi
dan sunnah Rasulallah saw. sehingga ayat ilahi dan sunnah ini satu sama
lain tidak akan berlawanan maknanya.
Berbuat
kebaikan itu sangat luas sekali maknanya bukan hanya masalah
peribadatan saja. Termasuk juga kebaikan adalah hubungan baik antara
sesama manusia (toleransi) baik antara sesama muslimin maupun antara
muslim dan non-muslim (yang tidak memerangi kita), antara manusia dengan
hewan, antara manusia dan alam semesta. Sebagaimana para ulama pakar
Islam klasik pendahulu kita sudah menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak akan diampuni kecuali oleh orang yang bersangkutan, sementara hak asasi Tuhan diurus oleh diri-Nya sendiri. Manusia manapun tidak pernah diperkenankan membuat klaim-klaim yang dianggap mewakili hak Tuhan.
Dalam konsep tauhid, Allah lebih dari mampu untuk melindungi hak-hak
pribadi-Nya. Karena itu, kita harus berhati-hati untuk tidak melanggar
hak-hak asasi manusia. Dalam Islam, Tuhan sendiri pun tidak akan mengampuni pelanggaran terhadap hak asasi orang lain, kecuali yang bersangkutan telah memberi maaf.
Contoh-contoh bid’ah yang diamalkan para sahabat
Marilah
kita sekarang rujuk hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai amal
kebaikan yang dilakukan oleh para sahabat Nabi saw. atas prakarsa mereka
sendiri, bukan perintah Allah swt. atau Nabi saw., dan bagaimana
Rasulallah saw. menanggapi masalah itu. Insya Allah dengan adanya
beberapa hadits ini para pembaca cukup jelas bahwa semua hal-hal yang
baru (bid’ah) yang sebelum atau sesudahnya tidak pernah diamalkan,
diajarkan atau diperintah- kan oleh Rasulallah saw. selama hal ini
tidak merubah dan keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at itu
adalah boleh diamalkan apalagi dalam bidang kebaikan itu malah
dianjurkan oleh agama dan mendapat pahala.
a. Hadits dari Abu Hurairah: “Rasulallah saw. bertanya pada Bilal ra seusai sholat Shubuh : ‘Hai
Bilal, katakanlah padaku apa yang paling engkau harapkan dari amal yang
telah engkau perbuat, sebab aku mendengar suara terompahmu didalam
surga’. Bilal menjawab : Bagiku amal yang paling kuharapkan ialah
aku selalu suci tiap waktu (yakni selalu dalam keadaan berwudhu)
siang-malam sebagaimana aku menunaikan shalat “. (HR Bukhori, Muslim dan
Ahmad bin Hanbal).
Dalam
hadits lain yang diketengahkan oleh Tirmidzi dan disebutnya sebagai
hadits hasan dan shohih, oleh Al-Hakim dan Ad-Dzahabi yang mengakui juga
sebagai hadits shohih ialah Rasulallah saw. meridhoi prakarsa Bilal
yang tidak pernah meninggalkan sholat dua rakaat setelah adzan dan pada
tiap saat wudhu’nya batal, dia segera mengambil air wudhu dan sholat dua
raka’at demi karena Allah swt. (lillah).
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitab Al-Fath mengatakan: Dari hadits tersebut dapat diperoleh pengertian, bahwa ijtihad menetapkan waktu ibadah
diperbolehkan. Apa yang dikatakan oleh Bilal kepada Rasulallah
saw.adalah hasil istinbath (ijtihad)-nya sendiri dan ternyata dibenarkan
oleh beliau saw. (Fathul Bari jilid 111/276).
b.
Hadits lain berasal dari Khabbab dalam Shahih Bukhori mengenai
perbuatan Khabbab shalat dua rakaat sebagai pernyataan sabar (bela
sungkawa) disaat menghadapi orang muslim yang mati terbunuh. (Fathul
Bari jilid 8/313).
Dua
hadits tersebut kita mengetahui jelas, bahwa Bilal dan Khabbab telah
menetapkan waktu-waktu ibadah atas dasar prakarsanya sendiri-sendiri.
Rasulallah saw. tidak memerintahkan hal itu dan tidak pula melakukannya,
beliau hanya secara umum menganjurkan supaya kaum muslimin banyak
beribadah. Sekalipun demikian beliau saw. tidak melarang, bahkan
membenarkan prakarsa dua orang sahabat itu.
c. Hadits riwayat Imam Bukhori dalam shohihnya II :284, hadits berasal dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi yang menerangkan bahwa:
“Pada
suatu hari aku sesudah shalat dibelakang Rasulallah saw. Ketika berdiri
(I’tidal) sesudah ruku’ beliau saw. mengucapkan ‘sami’allahu liman
hamidah’. Salah seorang yang ma’mum menyusul ucapan beliau itu dengan
berdo’a: ‘Rabbana lakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubarakan fiihi’
(Ya Tuhan kami, puji syukur sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya atas
limpahan keberkahan-Mu). Setelah shalat Rasulallah saw. bertanya : ‘Siapa tadi yang berdo’a?’. Orang yang bersangkutan menjawab: Aku, ya Rasul- Allah. Rasulallah saw. berkata : ‘Aku melihat lebih dari 30 malaikat ber-rebut ingin mencatat do’a itu lebih dulu’ “.
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Fath II:287
mengatakan: ‘ Hadits tersebut dijadikan dalil untuk membolehkan
membaca suatu dzikir dalam sholat yang tidak diberi contoh oleh Nabi
saw. (ghair ma’tsur) jika ternyata dzikir tersebut tidak bertolak
belakang atau bertentangan dengan dzikir yang ma’tsur dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad saw. Disamping itu, hadits tersebut mengisyaratkan bolehnya mengeraskan suara bagi makmum selama tidak mengganggu orang yang ada didekatnya…’.
Al-Hafidh dalam Al-Fath
mengatakan bahwa hadits tersebut menunjukkan juga diperbolehkannya
orang berdo’a atau berdzikir diwaktu shalat selain dari yang sudah
biasa, asalkan maknanya tidak berlawanan dengan kebiasa- an yang telah
ditentukan (diwajibkan). Juga hadits itu memperbolehkan orang
mengeraskan suara diwaktu shalat dalam batas tidak menimbulkan
keberisikan.
Lihat pula kitab Itqan Ash-Shan’ah Fi Tahqiq untuk mengetahui makna al-bid’ah karangan Imam Muhaddis Abdullah bin Shiddiq Al-Ghimary untuk mengetahui makna al-bid’ah
d. Hadits serupa diatas yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dari Anas bin Malik ra. “Seorang dengan terengah-engah (Hafazahu
Al-Nafs) masuk kedalam barisan (shaf). Kemudian dia mengatakan (dalam
sholatnya) al-hamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi
(segala puji hanya bagi Allah dengan pujian yang banyak, bagus dan
penuh berkah). Setelah Rasulallah saw. selesai dari sholatnya, beliau
bersabda : ‘Siapakah diantara- mu yang mengatakan beberapa kata (kalimat) (tadi)’ ? Orang-orang diam. Lalu beliau saw. bertanya lagi: ‘Siapakah diantaramu yang mengatakannya ? Sesungguhnya dia tidak mengatakan sesuatu yang percuma’. Orang
yang datang tadi berkata: ‘Aku datang sambil terengah-engah (kelelahan)
sehingga aku mengatakannya’. Maka Rasulallah saw. bersabda: ‘Sungguh aku melihat dua belas malaikat memburunya dengan cepat, siapakah diantara mereka (para malaikat) yang mengangkatkannya (amalannya ke Hadhirat Allah) “. (Shohih Muslim 1:419 ).
e. Dalam Kitabut-Tauhid Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra. yang mengatakan: “Pada
suatu saat Rasulallah saw. menugas- kan seorang dengan beberapa
temannya ke suatu daerah untuk menangkal serangan kaum musyrikin. Tiap
sholat berjama’ah, selaku imam ia selalu membaca Surat Al-Ikhlas di
samping Surah lainnya sesudah Al-Fatihah. Setelah mereka pulang ke
Madinah, seorang diantaranya memberitahukan persoalan itu kepada
Rasulallah saw. Beliau saw.menjawab : ‘Tanyakanlah kepadanya apa yang dimaksud’. Atas pertanyaan temannya itu orang yang bersangkutan menjawab : ‘Karena Surat Al-Ikhlas itu menerangkan sifat ar-Rahman, dan aku suka sekali membacanya’. Ketika jawaban itu disampaikan kepada Rasulallah saw. beliau berpesan : ‘Sampaikan kepadanya bahwa Allah menyukainya’ “.
Apa
yang dilakukan oleh orang tadi tidak pernah dilakukan dan tidak pernah
diperintahkan oleh Rasulallah saw.. Itu hanya merupakan prakarsa orang
itu sendiri. Sekalipun begitu Rasulallah saw. tidak mempersalahkan dan
tidak pula mencelanya, bahkan memuji dan meridhoinya dengan ucapan
“Allah menyukainya”.
f. Bukhori dalam Kitabus Sholah hadits yang serupa diatas
dari Anas bin Malik yang menceriterakan bahwa: “Beberapa orang
menunaikan shalat dimasjid Quba. Orang yang mengimami shalat itu setelah
membaca surah Al-Fatihah dan satu surah yang lain selalu menambah lagi
dengan surah Al-Ikhlas. Dan ini dilakukannya setiap rakaat. Setelah
shalat para ma’mum menegurnya: Kenapa anda setelah baca Fatihah dan
surah lainnya selalu menambah dengan surah Al-Ikhlas? Anda kan bisa
memilih surah yang lain dan meninggalkan surah Al-Ikhlas atau membaca
surah Al-Ikhlas tanpa membaca surah yang lain ! Imam tersebut menjawab :
Tidak !, aku tidak mau meninggalkan surah Al-Ikhlas kalau kalian
setuju, aku mau mengimami kalian untuk seterusnya tapi kalau kalian
tidak suka aku tidak mau meng- imami kalian. Karena para ma’mum tidak
melihat orang lain yang lebih baik dan utama dari imam tadi mereka tidak
mau diimami oleh orang lain. Setiba di Madinah mereka menemui
Rasulallah saw. dan menceriterakan hal tersebut pada beliau. Kepada imam
tersebut Rasulallah saw. bertanya: ‘Hai, fulan, apa sesungguhnya
yang membuatmu tidak mau menuruti permintaan teman-temanmu dan terus
menerus membaca surat Al-Ikhlas pada setiap rakaat’? Imam tersebut menjawab: ‘Ya Rasulallah, aku sangat mencintai Surah itu’. Beliau saw. berkata: ‘Kecintaanmu kepada Surah itu akan memasukkan dirimu ke dalam surga’ “..
Mengenai makna hadits ini Imam Al-Hafidh dalam kitabnya Al-Fath mengatakan antara lain; ‘Orang
itu berbuat melebihi kebiasaan yang telah ditentukan karena terdorong
oleh kecintaannya kepada surah tersebut. Namun Rasulallah saw.
menggembirakan orang itu dengan pernyataan bahwa ia akan masuk surga.
Hal ini menunjukkan bahwa beliau saw. meridhainya’.
Imam Nashiruddin Ibnul Munir menjelaskan makna hadits tersebut dengan menegaskan : ‘Niat atau tujuan dapat mengubah kedudukan hukum suatu perbuatan’.
Selanjutnya ia menerangkan; ‘Seumpama orang itu menjawab dengan alasan
karena ia tidak hafal Surah yang lain, mungkin Rasulallah saw. akan
menyuruhnya supaya belajar menghafal Surah-surah selain yang selalu
dibacanya berulang-ulang. Akan tetapi karena ia mengemukakan alasan karena sangat mencintai Surah itu (yakni
Al-Ikhlas), Rasulallah saw. dapat membenarkannya, sebab alasan itu
menunjukkan niat baik dan tujuan yang sehat’. Lebih jauh Imam
Nashiruddin mengatakan ; ‘Hadits tersebut juga menunjukkan, bahwa orang
boleh membaca berulang-ulang Surah atau ayat-ayat khusus dalam Al-Qur’an
menurut kesukaannya. Kesukaan demikian itu tidak dapat diartikan bahwa
orang yang bersangkutan tidak menyukai seluruh isi Al-Qur’an atau
meninggalkannya’.
Menurut
kenyataan, baik para ulama zaman Salaf maupun pada zaman-zaman
berikutnya, tidak ada yang mengatakan perbuatan seperti itu merupa- kan
suatu bid’ah sesat, dan tidak ada juga yang mengatakan bahwa perbuat- an
itu merupakan sunnah yang tetap. Sebab sunnah yang tetap dan wajib
dipertahankan serta dipelihara baik-baik ialah sunnah yang dilakukan dan
diperintahkan oleh Rasulallah saw. Sedangkan sunnah-sunnah yang tidak
pernah dijalankan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. bila tidak
keluar dari ketentuan syari’at dan tetap berada didalam kerangka amal
kebajikan yang diminta oleh agama Islam itu boleh diamalkan apalagi
dalam persoalan berdzikir kepada Allah swt.
g. Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits tentang Fadha’il
(keutamaan) Surah Al-Ikhlas berasal dari Sa’id Al-Khudriy ra. yang
mengatakan, bahwa ia mendengar seorang mengulang-ulang bacaan Qul huwallahu ahad….
Keesokan harinya ia ( Sa’id Al-Khudriy ra) memberitahukan hal itu
kepada Rasulallah saw., dalam keadaan orang yang dilaporkan itu masih
terus mengulang-ulang bacaannya. Menanggapi laporan Sa’id itu Rasulallah
saw.berkata : ‘Demi Allah yang nyawaku berada ditanganNya, itu sama dengan membaca sepertiga Qur’an’.
Imam Al-Hafidh mengatakan didalam Al-Fathul-Bari; bahwa orang yang disebut dalam hadits itu ialah Qatadah bin Nu’man.
Hadits tersebut diriwayat- kan oleh Ahmad bin Tharif dari Abu Sa’id,
yang mengatakan, bahwa sepanjang malam Qatadah bin Nu’man terus-menerus
membaca Qul huwallahu ahad, tidak lebih. Mungkin yang mendengar
adalah saudaranya seibu (dari lain ayah), yaitu Abu Sa’id yang tempat
tinggalnya berdekatan sekali dengan Qatadah bin Nu’man. Hadits yang sama
diriwayatkan juga oleh Malik bin Anas, bahwa Abu Sa’id mengatakan:
‘Tetanggaku selalu bersembahyang di malam hari dan terus-menerus membaca
Qul huwallahu ahad’.
h. Ashabus-Sunan, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban dalam Shohih-nya
meriwayatkan sebuah hadits berasal dari ayah Abu Buraidah yang
menceriterakan kesaksiannya sendiri sebagai berikut: ‘Pada suatu hari
aku bersama Rasulallah saw. masuk kedalam masjid Nabawi (masjid
Madinah). Didalamnya terdapat seorang sedang menunaikan sholat sambil
berdo’a; Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan bersaksi bahwa tiada
tuhan selain Engkau. Engkaulah Al-Ahad, As-Shamad, Lam yalid wa lam
yuulad wa lam yakullahu kufuwan ahad’. Mendengar do’a itu Rasulallah saw. bersabda; ‘Demi
Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya, dia mohon kepada Allah dengan
Asma-Nya Yang Maha Besar, yang bila dimintai akan memberi dan bila orang
berdo’a kepada-Nya Dia akan menjawab’.
Tidak diragukan lagi, bahwa do’a yang mendapat tanggapan sangat meng- gembirakan dari Rasulallah saw. itu disusun atas dasar prakarsa orang yang berdo’a itu sendiri, bukan do’a yang diajarkan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. kepadanya. Karena susunan do’a
itu sesuai dengan ketentu- an syari’at dan bernafaskan tauhid, maka
beliau saw. menanggapinya dengan baik, membenarkan dan meridhoinya.
i.
Hadits dari Ibnu Umar katanya; “Ketika kami sedang melakukan shalat
bersama Nabi saw. ada seorang lelaki dari yang hadir yang mengucapkan ‘Allahu Akbaru Kabiiran Wal Hamdu Lillahi Katsiiran Wa Subhaanallahi Bukratan Wa Ashiila’. Setelah selesai sholatnya, maka Rasulallah saw. bertanya; ‘Siapakah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi? Jawab sese- orang dari kaum; Wahai Rasulallah, akulah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi. Sabda beliau saw.; ‘Aku sangat kagum dengan kalimat-kalimat tadi sesungguhnya langit telah dibuka pintu-pintunya karenanya’.
Kata Ibnu Umar: Sejak aku mendengar ucapan itu dari Nabi saw. maka aku
tidak pernah meninggalkan untuk mengucapkan kalimat-kalimat tadi.” (HR.
Muslim dan Tirmidzi). As-Shan’ani ‘Abdurrazzaq juga mengutipnya dalam Al-Mushannaf.
Demikianlah bukti yang berkaitan dengan pembenaran dan keridhaan Rasulallah saw. terhadap prakarsa-prakarsa baru yang berupa do’a-do’a dan bacaan surah di dalam sholat,
walaupun beliau saw. sendiri tidak pernah melakukannya atau
memerintahkannya. Kemudian Ibnu Umar mengamalkan hal tersebut bukan
karena anjuran dari Rasulallah saw. tapi karena mendengar jawaban beliau
saw. mengenai bacaan itu.
Yang lebih mengherankan lagi ialah ada golongan yang bependapat lebih jauh lagi yaitu menganggap do’a qunut waktu sholat shubuh sebagai bid’ah.
Padahal do’a tersebut berasal dari hadits Rasulallah saw. sendiri yang
diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i dan selain mereka dari
Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib kw. juga oleh Al Baihaqi dari Ibnu
Abbas.
Sedangkan waktu dan tempat
berdirinya untuk membaca do’a qunut pada waktu sholat Shubuh, ini juga
berdasarkan hadits-hadits yang diketengahkan oleh Anas bin Malik; Awam
bin Hamzah; Abdullah bin Ma’qil; Barra’ (ra) yang diriwayatkan oleh
sekolompok huffaz dan mereka juga ikut menshahih-kannya serta para ulama
lainnya diantaranya Hafiz Abu Abdillah Muhammad Ali al-Bakhi, Al Hakim
Abu Abdillah, Imam Muslim, Imam Syafi’i, Imam Baihaqi dan Daraquthni dan
lain lain).
Bagaimana mungkin do’a qunut yang berasal dari Nabi saw. tersebut dikatakan bid’ah
sedangkan tambahan-tambahan kalimat dalam sholat yang tersebut diatas
atas prakarsanya para sahabat sendiri tidak dipersalahkan oleh Nabi saw.
malah diridhoi dan diberi kabar gembira bagi yang membaca nya ?
j. Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri tentang Ruqyah yakni sistem pengobatan dengan jalan berdo’a kepada Allah swt. atau dengan jalan bertabarruk
pada ayat-ayat Al-Qur’an. Sekelompok sahabat Nabi saw. yang sempat
singgah pada pemukiman suku arab badui sewaktu mereka dalam perjalanan.
Karena sangat lapar mereka minta pada orang-orang suku tersebut agar
bersedia untuk menjamu mereka. Tapi permintaan ini ditolak. Pada saat
itu kepala suku arab badui itu disengat binatang berbisa sehingga tidak
dapat jalan. Karena tidak ada orang dari suku tersebut yang bisa
mengobatinya, akhirnya mereka mendekati sahabat Nabi seraya berkata:
Siapa diantara kalian yang bisa mengobati kepala suku kami yang disengat
binatang berbisa? Salah seorang sahabat sanggup menyembuhkannya tapi
dengan syarat suku badui mau memberikan makanan pada mereka. Hal ini
disetujui oleh suku badui tersebut. Maka sahabat Nabi itu segera
mendatangi kepala suku lalu membacakannya surah al-Fatihah,
seketika itu juga dia sembuh dan langsung bisa berjalan. Maka segeralah
diberikan pada para sahabat beberapa ekor kambing sesuai dengan
perjanjian. Para sahabat belum berani membagi kambing itu sebelum
menghadap Rasulallah saw.. Setiba dihadapan Rasulallah saw, mereka
menceriterakan apa yang telah mereka lakukan terhadap kepala suku itu.
Rasulallah saw. bertanya ; ‘Bagaimana engkau tahu bahwa surah al-Fatihah itu dapat menyembuhkan’? Rasulallah saw. membenarkan mereka dan ikut memakan sebagian dari daging kambing tersebut “. (HR.Bukhori)
k.
Abu Daud, At-Tirmudzi dan An-Nasa’i mengetengahkan sebuah riwayat
hadits berasal dari paman Kharijah bin Shilt yang mengatakan; “Pada
suatu hari ia melihat banyak orang bergerombol dan ditengah-tengah
mereka terdapat seorang gila dalam keadaan terikat dengan rantai besi.
Kepada paman Kharijah itu mereka berkata: ‘Anda tampaknya datang membawa
kebajikan dari orang itu (yang dimaksud Rasulallah saw.), tolonglah
sembuhkan orang gila ini’. Paman Kharijah kemudian dengan suara lirih
membaca surat Al-Fatihah, dan ternyata orang gila itu menjadi sembuh”.
(Hadits ini juga diketengahkan oleh Al-Hafidh didalam Al-Fath)
Masih
banyak hadits yang meriwayatkan amal perbuatan para sahabat atas dasar
prakarsa dan ijtihadnya sendiri yang tidak dijalani serta dianjurkan
oleh Rasulallah saw.. Semuanya itu diridhoi oleh Rasulallah saw. dan
beliau memberi kabar gembira pada mereka. Amalan-amalan tersebut juga tidak diperintah atau dianjurkan oleh Rasulallah saw. sebelum atau sesudahnya. Karena
semua itu bertujuan baik, tidak melanggar syariát maka oleh Nabi saw.
diridhoi dan mereka diberi kabar gembira. Perbuatan-perbuatan tersebut
dalam pandangan syari’at dinamakan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad.
Dengan demikian hadits-hadits diatas bisa dijadikan dalil untuk setiap
amal kebaik- an selama tidak keluar dari garis-garis yang ditentukan
syari’at Islam itu mustahab/baik hukumnya, apalagi masalah tersebut
bermanfaat bagi masyarakat muslim khususnya malah dianjurkan oleh agama.
Kalau kita teliti hadits-hadits diatas tersebut banyak yang berkaitan dengan masalah shalat yaitu suatu ibadah pokok dan terpenting dalam Islam. Sebagaimana Rasulallah saw. telah bersabda :
صَلُُوْا كَمَا رَأيْتُمُوْنِي أصَلِي (رواه البخاري
‘Hendaklah kamu sholat sebagaimana kalian melihat aku sholat’. (HR Bukhori).
Sekalipun demikian beliau saw. dapat membenarkan dan meridhoi tambahan tambahan
tertentu yang berupa do’a dan bacaan surah atas prakarsa mereka itu.
Karena beliau saw. memandang do’a dan bacaan surah tersebut diatas tidak
keluar dari batas-batas yang telah ditentukan oleh syari’at dan juga
bernafaskan tauhid. Bila ijtihad dan amalan para sahabat itu
melanggar dan merubah hukum-hukum yang telah ditentukan oleh syari’at,
pasti akan ditegur dan dilarang oleh Rasulallah saw.
Mungkin ada orang yang bertanya-tanya lagi; Bagaimanakah
pendapat orang tentang penetapan sesuatu yang disebut sunnah atau
mustahab, yaitu penetapan yang dilakukan oleh masyarakat muslimin pada
abad pertama Hijriyah, padahal apa yang dikatakan sunnah atau mustahab
itu tidak pernah dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.?
Memang
benar, bahwa masyarakat yang hidup pada zaman abad pertama Hijriyah dan
generasi berikutnya, banyak menetapkan hal-hal yang bersifat mustahab
dan baik. Pada masa itu banyak sekali para ulama yang menurut
kesanggupannya masing-masing dalam menguasai ilmu pengetahuan, giat
melakukan ijtihad (studi mendalam untuk mengambil kesimpulan hukum) dan
menetapkan suatu cara yang dipandang baik atau mustahab.
Untuk
menerangkan hal ini baiklah kita ambil contoh yang paling mudah
dipahami dan yang pada umumnya telah dimengerti oleh kaum muslimin,
yaitu soal kodifikasi (pengitaban) ayat-ayat suci Al-Qur’an, sebagaimana
yang telah kita kenal sekarang ini. Para sahabat Nabi saw. sendiri pada
masa-masa sepeninggal beliau saw. berpendapat bahwa pengkodifikasian
ayat-ayat suci Al-Qur’an adalah bid’ah sayyiah. Mereka khawatir
kalau-kalau pengkodifikasian itu akan mengakibatkan rusaknya kemurnian
agama Allah swt., Islam. ‘Umar bin Khattab ra. sendiri sampai merasa
takut kalau-kalau dikemudian hari ayat-ayat Al-Qur’an akan lenyap karena
wafatnya para sahabat Nabi saw. yang hafal ayat-ayat Al-Qur’an.
Ia
mengemukakan kekhawatirannya itu kepada Khalifah Abu Bakra ra. dan
mengusulkan supaya Khalifah memerintahkan pengitaban ayat-ayat
Al-Qur’an. Tetapi ketika itu Khalifah Abu Bakar menolak usul ‘Umar dan
berkata kepada ‘Umar; Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulallah saw.? ‘Umar bin Khattab ra. menjawab; Itu merupakan hal yang baik.
Namun, tidak berapa lama kemudian Allah swt. membukakan pikiran
Khalifah Abu Bakar ra seperti yang dibukakan lebih dulu pada pikiran
‘Umar bin Khattab ra, dan akhirnya bersepakatlah dua orang sahabat Nabi
itu untuk mengitabkaan ayat-ayat Al-Qur’an. Khalifah Abu Bakar memanggil
Zaid bin Tsabit dan diperintahkan supaya melaksana- kan pengitabatan
ayat-ayat Al-Qur’an itu. Zaid bin Tsabit ra. juga menjawab kepada Abu
Bakar; Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulallah saw.? Abu Bakar menjawab kepadanya; Itu pekerjaan yang baik!
Untuk lebih detail keterangannya silahkan membaca riwayat hadits ini
yang dikemukakan oleh Imam Bukhori dalam Shohih-nya jilid 4 halaman 243
mengenai pengitaban ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Jelaslah
sudah, baik Abu Bakar, ‘Umar maupun Zaid bin Tsabit [ra] pada masa itu
telah melakukan suatu cara yang tidak pernah dikenal pada waktu
Rasulallah saw masih hidup. Bahkan sebelum melakukan pengitaban
Al-Qur’an itu Khalifah Abu Bakar dan Zaid bin Tsabit sendiri
masing-masing telah menolak lebih dulu, tetapi akhirnya mereka dibukakan
dadanya oleh Allah saw. sehingga dapat menyetujui dan menerima baik
prakarsa ‘Umar bin Khattab ra. Demikianlah contoh suatu amalan yang
tidak pernah dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.
Secara umum bid’ah adalah sesat karena berada diluar perintah Allah swt. dan Rasul-Nya. Akan tetapi banyak kenyataan membuktikan, bahwa Nabi saw.
membenarkan dan meridhoi banyak persoalan yang telah kami kemuka kan
yang berada diluar perintah Allah dan perintah beliau saw. Hadits-hadits diatas itu mengisyaratkan adanya bid’ah hasanah, karena Rasulallah saw. membenarkan serta meridhoi
atas kata-kata tambahan dalam sholat dan semua bentuk kebajikan yang
diamalkan para sahabat walaupun Nabi saw. belum menetapkan atau
memerintahkan amalan-amalan tersebut. Begitu juga prakarsa para sahabat
diatas setelah wafatnya beliau saw.
Darisini kita bisa ambil kesimpulan bahwa semua bentuk amalan-amalan, baik itu dijalankan atau tidak pada masa Rasulallah saw. atau zaman dahulu setelah zaman Nabi saw.
yang tidak melanggar syariát serta mempunyai tujuan dan niat
mendekatkan diri untuk mendapatkan ridha Allah swt. dan untuk
mengingatkan (dzikir) kita semua pada Allah serta Rasul-Nya itu adalah
bagian dari agama dan dapat diterima.
Sebagaimana hadits Rasulallah saw.:
اِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْنـِّيَّاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى, فَمَنْ كَانَتْ
هجْرَتُهُ الَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلى اللهِ وَرَسُوْلِهِ (رواه البخاري
‘Sesungguhnya
segala perbuatan tergantung kepada niat, dan setiap manusia akan
mendapat sekadar apa yang diniatkan, siapa yang hijrahnya (tujuannya) karena Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya itu adalah karena Allah dan Rasul-Nya (berhasil)’. (HR. Bukhori).
Sekiranya orang-orang yang gemar melontarkan tuduhan bid’ah
dapat memahami hikmah apa yang ada pada sikap Rasulallah saw. dalam
meng- hadapi amal kebajikan yang dilakukan oleh para sahabatnya
sebagaimana yang telah kami kemukakan dalil-dalil haditsnya tentu
mereka mau dan akan menghargai orang lain yang tidak sependapat atau
sepaham dengan mereka.
Tetapi
sayangnya golongan pengingkar ini tetap sering mencela dan mensesatkan
para ulama yang tidak sepaham dengannya. Mereka ini malah mengatakan;
‘Bahwa para ulama dan Imam yang memilah-milahkan bid’ah menjadi beberapa
jenis telah membuka pintu selebar-lebarnya bagi kaum Muslim untuk
berbuat segala macam bid’ah ! Kemudian mereka ini tanpa pengertian yang
benar mengatakan, bahwa semua bid’ah adalah dhalalah (sesat) dan sesat didalam neraka!”. Saya berlindung pada Allah swt. atas pemahaman mereka semacam ini.
Dalil-dalil yang membantah dan jawabannya
Hanya
orang-orang egois, fanatik dan mau menangnya sendiri sajalah yang
mengingkari hal tersebut. Seperti yang telah kemukakan sebelum ini bahwa
golongan pengingkar ini selalu menafsirkan Al-Qur’an dan Sunnah secara
tekstual oleh karenanya sering mencela semua amalan yang tidak sesuai
dengan paham mereka.
Misalnya, mereka melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil hadits Rasulallah saw. berikut ini :
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةُ
Juga hadits Nabi saw.:
مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم)
‘Barangsiapa yang didalam agama kami mengadakan sesuatu yang tidak dari agama ia tertolak’.
Hadits-hadits tersebut oleh mereka dipandang sebagai pengkhususan hadits Kullu bid’atin dhalalah
yang bersifat umum, karena terdapat penegasan dalam hadits tersebut,
yang tidak dari agama ia tertolak, yakni dholalah/ sesat. Dengan adanya
kata Kullu (setiap/semua) pada hadits diatas ini tersebut mereka menetapkan apa
saja yang terjadi setelah zaman Rasul- Allah saw. serta sebelumnya
tidak pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw adalah bi’dah dholalah.
Mereka tidak memandang apakah hal yang baru itu membawa
maslahat/kebaikan dan termasuk yang dikehendaki oleh agama atau tidak.
Mereka juga tidak mau meneliti dan membaca contoh-contoh hadits diatas
mengenai prakarsa para sahabat yang menambahkan bacaan-bacaan dalam
sholat yang mana sebelum dan sesudahnya tidak pernah diperintahkan
Rasulallah saw.. Mereka juga tidak mau mengerti bahwa memperbanyak
kebaikan adalah kebaikan. Jika ilmu agama sedangkal itu orang tidak
perlu bersusah-payah memperoleh kebaikan.
Ada
lagi kaidah yang dipegang dan sering dipakai oleh golongan pengingkar
dan pelontar tuduhan-tuduhan bid’ah mengenai suatu amalan, adalah
kata-kata sebagai berikut:
“Rasulallah saw. tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya tidak ada satupun diantara mereka yang mengerja- kannya. Demikian pula para tabi’in dan tabi’ut-tabi’in. Dan kalau sekiranya amalan itu baik, mengapa hal itu tidak dilakukan oleh Rasulallah, sahabat dan para tabi’in?”
Atau ucapan mereka : “Kita
kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi yakni mengikuti segala
perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa justru
kita yang melakukannya..? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari
sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi saw., para sahabat, ulama-ulama
salaf..? Karena melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh
Nabi adalah bid’ah”.
Kaidah-kaidah
seperti itulah yang sering dijadikan pegangan dan dipakai sebagai
perlindungan oleh golongan pengingkar ini juga sering mereka jadikan
sebagai dalil/hujjah untuk melegitimasi tuduhan bid’ah mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru termasuk tahlilan, peringatan Maulid Nabi saw dan sebagainya. Terhadap semua ini mereka langsung menghukumnya dengan ‘sesat, haram, mungkar, syirik dan sebagainya’, tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok/asal agama.
Ucapan mereka seperti diatas ini adalah ucapan yang awalnya haq/benar namun akhirnya batil atau awalnya shohih namun akhirnya fasid.
Yang benar adalah keadaan Nabi saw. atau para sahabat yang tidak pernah
mengamal- kannya (umpamanya; berkumpul untuk tahlilan, peringatan
keagamaan dan lain sebagainya). Sedangkan yang batil/salah atau fasid
adalah penghukum- an mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru itu dengan hukum haram, sesat, syirik, mungkar dan sebagainya.
Yang
demikian itu karena Nabi saw. atau salafus sholih yang tidak mengerja-
kan satu perbuatan bukanlah termasuk dalil, bahkan penghukuman dengan
berdasarkan kaidah diatas tersebut adalah penghukuman tanpa dalil/nash.
Dalil untuk mengharamkan sesuatu perbuatan haruslah menggunakan nash
yang jelas, baik itu dari Al-Qur’an maupun hadits yang melarang dan
mengingkari perbuatan tersebut. Jadi tidak bisa suatu perbuatan diharam- kan hanya karena Nabi saw. atau salafus sholih tidak pernah melakukannya.
Telitilah
lagi hadits-hadits diatas yakni amalan-amalan bid’ah para sahabat yang
belum pernah dikerjakan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. dan bagaimana Rasulallah saw. menanggapinya. Penanggapan Rasul- Allah saw. inilah yang harus kita contoh !
Demikian pula para ulama mengatakan’ bahwa amalan ibadah itu bila tidak ada keterangan yang valid dari Rasulullah saw., maka amalan itu tidak boleh dinisbahkan kepada beliau saw. !!
Jelas disini para ulama tidak mengatakan bahwa suatu amalan ibadah tidak boleh diamalkan karena tidak ada keterangan dari beliau saw., mereka hanya mengatakan amalan itu tidak boleh dinisbahkan kepada Rasulallah saw. bila tidak ada dalil dari beliau saw. !
Kalau
kita teliti perbedaan paham setiap ulama atau setiap madzhab selalu
ada, dan tidak bisa disatukan. Sebagaimana yang sering kita baca
dikitab-kitab fiqih para ulama pakar yaitu Satu hadits bisa dishohihkan oleh sebagian ulama pakar dan hadits yang sama ini bisa dilemahkan atau dipalsukan oleh ulama pakar lainnya. Kedua kelompok ulama ini sama-sama ber- pedoman kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw. tetapi berbeda cara penguraiannya.
Tidak lain semuanya, karena status keshahihan itu masih bersifat subjektif kepada yang mengatakannya. Dari
sini saja kita sudah bisa ambil kesimpul an; Kalau hukum atas derajat
suatu hadits itu masih berbeda-beda diantara para ulama, tentu saja
ketika para ulama mengambil kesimpulan apakah suatu amal itu merupakan
sunnah dari Rasulullah saw. pun berbeda juga !!
Para ulama pun berbeda pandangan ketika menyimpulkan hasil dari sekian banyak hadits yang berserakan. Umpamanya mereka
berbeda dalam meng- ambil kesimpulan hukum atas suatu amal, walaupun
amal ini disebutkan didalam suatu hadits yang shohih. Para ulama juga
mengenal beberapa macam sunnah yang sumbernya langsung dari Rasulallah
saw., umpama- nya; Sunnah Qauliyyah, Sunnah Fi’liyyah dan Sunnah Taqriyyah.
Sunnah Qauliyyah ialah sunnah di mana Rasulullah saw. sendiri menganjur-kan atau mensarankan suatu amalan, tetapi belum tentu kita mendapatkan dalil bahwa Rasulllah saw. pernah mengerjakannya secara langsung. Jadi sunnah Qauliyyah ini adalah
sunnah Rasulallah saw. yang dalilnya/riwayat- nya sampai kepada kita
bukan dengan cara dicontohkan, melainkan dengan diucapkan saja oleh
beliau saw. Di mana ucapan itu tidak selalu berbentuk fi’il amr (kata perintah), tetapi bisa saja dalam bentuk anjuran, janji pahala dan sebagainya.
Contoh
sunnah qauliyyah yang mudah saja: Ada hadits Rasulallah saw. yang
menganjurkan orang untuk belajar berenang, tetapi kita belum pernah
mendengar bahwa Rasulallah saw. atau para sahabat telah belajar atau
kursus berenang !!
Sunnah Fi’liyah ialah sunnah
yang ada dalilnya juga dan pernah dilakukan langsung oleh Rasulallah
saw. Misalnya ibadah shalat sunnah seperti shalat istisqa’, puasa sunnah
Senin Kamis, makan dengan tangan kanan dan lain sebagainya. Para
shahabat melihat langsung beliau saw. melakukannya, kemudian
meriwayatkannya kepada kita.
Sedangkan Sunnah Taqriyyah ialah sunnah di mana Rasulullah saw. tidak melakukannya langsung, juga tidak pernah memerintahkannya dengan lisannya, namun hanya mendiamkannya saja. Sunnah yang terakhir ini seringkali disebut dengan sunnah taqriyyah. Contohnya ialah beberapa amalan para sahabat yang telah kami kemukakan sebelumnya.
Begitu
juga dengan amalan-amalan ibadah yang belum pernah dikerjakan oleh
Rasulallah saw. atau para sahabatnya, tetapi diamalkan oleh para ulama
salaf (ulama terdahulu) atau ulama khalaf (ulama belakangan) misalnya
mengadakan majlis maulidin Nabi saw., majlis tahlilan/ yasinan dan lain
sebagainya (baca keterangannya pada bab Maulid Nabi saw.dan
bab Ziarah kubur). Tidak lain para ulama yang mengamalkan ini mengambil
dalil-dalil baik dari Kitabullah atau Sunnah Rasulallah saw. yang
menganjurkan agar manusia selalu berbuat kebaikan atau dalil-dalil
tentang pahala-pahala bacaan dan amalan ibadah lainnya. Berbuat kebaikan
ini banyak macam dan caranya semuanya mustahab asalkan tidak tidak
bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Apalagi
didalam majlis-majlis (maulidin-Nabi, tahlilan/yasinan, Istighotsah)
yang sering diteror oleh golongan tertentu, disitu sering didengungkan
kalimat Tauhid, Tasbih, Takbir dan Sholawat kepada Rasulallah saw. yang
semuanya itu dianjurkan oleh Allah swt. dan Rasul-Nya. Semuanya ini
mendekatkan/taqarrub kita kepada Allah swt.!!
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
‘Apa saja yang didatangkan oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamu dilarang daripadanya, maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7).
Dalam
ayat ini jelas bahwa perintah untuk tidak mengerjakan sesuatu itu
adalah apabila telah tegas dan jelas larangannya dari Rasulallah saw. !
Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan :
وَماَلَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
‘Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakannya (oleh Rasulallah), maka berhentilah (mengerjakannya)’.
Juga dalam hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Bukhori:
فَاجْتَنِبُوْهُ اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ
‘Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah dia !‘
Dalam hadits ini Rasulallah saw. tidak mengatakan:
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
‘Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia!’
Jadi pemahaman golongan yang melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil dua hadits yang telah kami kemukakan Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah… dan hadits Barangsiapa yang didalam agama… adalah
tidak benar, karena adanya beberapa keterangan dari Rasulallah saw.
didalam hadits-hadits yang lain dimana beliau merestui banyak perkara
yang merupakan prakarsa para sahabat sedangkan beliau saw. sendiri tidak
pernah melakukan apalagi memerintahkan. Maka para ulama menarik
kesimpulan bahwa bid’ah (prakarsa) yang dianggap sesat ialah yang mensyari’atkan sebagian dari agama yang tidak diizinkan Allah swt. (QS Asy-Syura :21) serta
prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang telah digariskan oleh
syari’at Islam baik dalam Al-Qur’an maupun sunnah Rasulallah saw.,
contohnya yang mudah ialah:
Sengaja
sholat tidak menghadap kearah kiblat, Shalat dimulai dengan salam dan
diakhiri denga takbir ; Melakukan sholat dengan satu sujud saja; Melaku kan sholat Shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’at dan lain sebagai- nya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Makna hadits Rasulallah saw. diatas yang mengatakan, mengada-adakan sesuatu itu…. adalah
masalah pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan
Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah. Saya ambil
perumpamaan lagi yang mudah saja, ada orang mengatakan bahwa sholat wajib itu setiap harinya dua kali, padahal agama menetapkan lima kali
sehari. Atau orang yang sanggup tidak berhalangan karena sakit,
musafir dan lain-lain berpuasa wajib pada bulan Ramadhan mengatakan
bahwa kita tidak perlu puasa pada bulan tersebut tapi bisa diganti
dengan puasa pada bulan apapun saja. Inilah yang dinamakan menambah dan
mengada-adakan agama. Jadi bukan masalah-masalah nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.
Telitilah isi hadits Qudsi berikut ini yang diriwayatkan Bukhori dari Abu Hurairah :
…… وَمَا تَقَرَّبَ اِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْئٍ أحَبَّ اِلَيَّ مِمَّا افْتَرَطْتُ عَلَيْهِ,
وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ أِلَيَّ بِالنّـَوَافِلِ حَتَّى
اُحِبَّهُ فَاِذَا أحْبَبْتهُ كُنْتُ سَمْـعَهُ الَّذِي يَسمَعُ بِهِ
وَبَصَرَهُ اَلَّذِي يُبْصِرُبِهِ, وَيَدَهُ اَلَّتِي يَبْـطِشُ بِهَا وَرِجْلـَهُ اَلَّتِي يَمْشِي بِهَا
وَاِنْ سَألَنِي لاُعْطَيْنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَـاذَنِي لاُعِيْذَنَّهُ. (رواه البخاري)
“…. HambaKu yang mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih Ku sukai daripada yang telah Kuwajibkan kepadanya, dan selagi hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan nawafil
(amalan-amalan atau sholat sunnah) sehingga Aku mencintainya, maka jika
Aku telah mencintainya. Akulah yang menjadi pendengarannya dan dengan
itu ia mendengar, Akulah yang menjadi penglihatannya dan dengan itu ia
melihat, dan Aku yang menjadi tangannya dengan itu ia memukul (musuh),
dan Aku juga menjadi kakinya dan dengan itu ia berjalan. Bila ia mohon
kepadaKu itu pasti Kuberi dan bila ia mohon perlindungan kepadaKu ia
pasti Ku lindungi”.
Dalam hadits qudsi ini Allah swt. mencintai orang-orang yang menambah amalan sunnah disamping amalan wajibnya.
Mari kita rujuk ayat-ayat ilahi yang ada kata-kata Kullu yang mana kata ini tidak harus berarti semua/setiap, tapi bisa berarti khusus untuk beberapa hal saja.
Firman Allah swt dalam Al-Kahfi: 79, kisah Nabi Musa as. dengan Khidir (hamba Allah yang sholeh), sebagai berikut:
“Adapun
perahu itu, maka dia adalah miliknya orang orang miskin yang bermata
pencaharian dilautan dan aku bertujuan merusaknya karena dibelakang
mereka terdapat seorang raja yang suka merampas semua perahu”.
Ayat
ini menunjukkan tidak semua perahu yang akan dirampas oleh raja itu,
melainkan perahu yang masih dalam kondisi baik saja. Oleh karenanya
Khidir/seorang hamba yang sholeh sengaja membocorkan perahu orang-orang
miskin itu agar terlihat sebagai perahu yang cacat/jelek sehingga
tidaklah dia ikut dirampas oleh raja itu. Dengan demikian maka kata
safiinah dalam Al-Qur’an itu maknanya adalah safiinah hasanah
atau perahu yang baik. Ini berarti safiinah diayat ini tidak bersifat
umum dalam arti tidak semua safiinah/perahu yang akan dirampas oleh raja
melainkan safiinah hasanah saja walaupun didalam ayat itu disebut Kullu safiinah (semua/setiap perahu).
Dalam surat Al-Ahqaf ayat 25 Allah swt.berfirman : “Angin taufan itu telah menghancurkan segala sesuatu atas perintah Tuhannya”. Namun
demikian keumuman pada ayat diatas ini tidak terpakai karena pada saat
itu gunung-gunung, langit dan bumi tidak ikut hancur.
Dalam surat An-Naml ayat 23 Allah swt.berfirman : “Ratu Balqis itu telah diberikan segala sesuatu”. Keumuman
pada ayat ini juga tidak terpakai karena Ratu Balqis tidak diberi
singgasana dan kekuasaan seperti yang diberikan kepada Nabi Sulaiman as.
Begitupun juga dalam surat An-Najm ayat 39 Allah swt.berfirman: “Bahwasa- nya setiap manusia itu tidak memperoleh selain apa yang telah diusaha- kannya”. Kalimat ‘selain apa yang telah diusahakannya’
pada ayat ini bersifat umum, namun keumumannya itu tidak terpakai
karena banyak sekali hadits-hadits shohih yang menunjukkan bahwa seorang
muslim yang telah meninggal masih dapat memperoleh kebaikan dan manfaat
dari muslim yang lain seperti sholat jenazah, do’a, sedekah dan
lain-lain.
Dalam surat Thoha ayat 15 Allah swt. berfirman : “Agar setiap manusia menerima balasan atas apa yang telah diusahakannya”. Kalimat ‘apa yang telah diusahakannya’ mencakup semua amal baik yang hasanah (baik) maupun yang sayyiah (jelek). Namun demikian amal yang sayyiah yang telah diampuni oleh Allah swt. tidaklah termasuk yang akan memperoleh balasannya (siksa).
Dalam surat Aali ‘Imran : 173 Allah swt. berfirman mengenai suatu peristiwa dalam perang Uhud :
“Kepada mereka (kaum Muslimin) ada yang mengatakan bahwa semua orang (di Mekkah) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang….” Yang dimaksud semua orang (an-naas)
dalam ayat ini tidak bermakna secara harfiahnya, tetapi hanya untuk
kaum musyrikin Quraisy di Mekkah yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin
Harb yang memerangi Rasulallah saw. dan kaum Muslimin didaratan tinggi
Uhud, jadi bukan semua orang Mekkah atau semua orang Arab.
Dalam surat Al-Anbiya : 98 : “Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Alah adalah umpan neraka jahannam..”.
Ayat ini sama sekali tidak boleh ditafsirkan bahwa Nabi ‘Isa as dan
bundanya yang dipertuhankan oleh kaum Nasrani akan menajdi umpan neraka.
Begitu juga para malaikat yang oleh kaum musyrikin lainnya dianggap
sebagai tuhan-tuhan mereka.
Dalam surat Aali ‘Imran : 159 : “Ajaklah mereka bermusyawarah dalam suatu urusan…”. Kalimat dalam suatu urusan (fil amri) tidak bermakna semua urusan termasuk urusan agama dan urusan akhirat , tidak ! Yang dimaksud urusan dalam hal ini ialah urusan duniawi.
Allah swt. tidak memerintahkan Rasul-Nya supaya memusyawarahkan
soal-soal keagamaan atau keukhrawian dengan para sahabatnya atau dengan
ummatnya.
Dalam surat Al-An’am : 44 : ‘Kami bukakan bagi mereka pintu segala sesuatu’. Akan tetapi pengertian ayat ini terkait, Allah tidak membukakan pintu rahmat bagi mereka (orang-orang kafir durhaka). Kalimat segala sesuatu adalah umum, tetapi kalimat itu bermaksud khusus.
Dalam surat Al-Isra : 70 : “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam….dan seterusnya “. Firman
Allah ini bersifat umum, sebab Allah swt. juga telah berfirman, bahwa
ada manusia-manusia yang mempunyai hati tetapi tidak memahami ayat-ayat
Allah, mempunyai mata tetapi tidak menggunakannya untuk melihat
tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mempunyai telinga tetapi tidak
menggunakannya untuk mendengarkan firman-firman Allah; mereka itu
bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi (QS.Al-A’raf : 179).
Jadi
jelaslah, bahwa secara umum manusia adalah makhluk yang mulia, tetapi
secara khusus banyak manusia yang setaraf dengan binatang ternak, bahkan
lebih sesat. Masih banyak lagi ayat-ayat Ilahi yang walaupun didalamnya
terdapat keumuman namun ternyata keumumannya itu tidak terpakai untuk
semua hal atau masalah. !!
Sebuah hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulallah saw. bersabda: “Orang yang menunaikan sholat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam tidak akan masuk neraka”. Hadits
ini bersifat umum, tidak dapat diartikan secara harfiah. Yang dimaksud
oleh hadits tersebut bukan berarti bahwa seorang Muslim cukup dengan
sholat shubuh dan maghrib saja, tidak diwajibkan menunaikan
sholat wajib yang lain seperti dhuhur, ashar dan isya !
Ibnu
Hajar mengatakan; ‘ Hadits-hadits shahih yang mengenai satu persoal- an
harus dihubungkan satu sama lain untuk dapat diketahui dengan jelas
maknanya yang muthlak dan yang muqayyad. Dengan demikian maka semua yang di-isyaratkan oleh hadits-hadits itu semuanya dapat dilaksana- kan’.
Dalam shohih Bukhori dan juga dalam Al-Muwattha terdapat penegasan Rasulallah saw. yang menyatakan bahwa jasad semua anak Adam akan hancur dimakan tanah. Mengenai itu Ibnu ‘Abdul Birr rh. dalam At-Tamhid mengatakan:
Hadits mengenai itu menurut lahirnya dan menurut keumuman maknanya
adalah, bahwa semua anak Adam sama dalam hal itu. Akan tetapi dalam
hadits yang lain Rasulallah saw. menegaskan pula, bahwa jasad para Nabi dan para pahlawan syahid tidak akan dimakan tanah (hancur) !
Masih
banyak contoh seperti diatas baik didalam nash Al-Qur’an maupun Hadits.
Banyak sekali ayat Ilahi yang menurut kalimatnya bersifat umum, dan
dalam ayat yang lain dikhususkan maksud dan maknanya, demikian pula
banyak terdapat didalam hadits. Begitu banyaknya sehingga ada sekelompok
ulama mengatakan; ‘Hal yang umum hendaknya tidak diamalkan dulu sebelum dicari kekhususan-kekhususannya’.
Begitu juga halnya dengan hadits Nabi ‘Kullu bid’ atin dholalah’ walaupun sifatnya umum tapi berdasarkan dalil hadits lainnya maka disimpulkanlah bahwa tidak semua bid’ah (prakarsa) itu dholalah/sesat
! Mereka juga lupa yang disebut agama bukan hanya masalah peribadatan
saja. Allah swt. menetapkan agama Islam bagi umat manusia mencakup semua
perilaku dan segi kehidupan manusia. Yang kesemuanya ini bisa dimasuki
bid’ah baik yang hasanah maupun yang sayyiah/buruk.
Banyak
kenyataan membuktikan, bahwa Rasulallah saw. membenarkan dan meirdhoi
macam-macam perbuatan yang berada diluar perintah Allah dan perintah
beliau saw. Silahkan baca kembali hadits-hadits yang telah kami
kemukakan diatas. Bagaimanakah cara kita memahami semua persoalan itu?
Apakah kita berpegang pada satu hadits Nabi (yakni kalimat: semua bid’ah
adalah sesat) diatas dan kita buang
ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain yang lebih jelas uraiannya (yang
menganjurkan manusia selalu berbuat kebaikan) ? Yang benar ialah bahwa
kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima kebenarannya
oleh jumhurul-ulama. Untuk itu tidak ada jalan yang lebih tepat daripada
yang telah ditunjukkan oleh para imam dan ulama Fiqih, yaitu
sebagaimana yang telah dipecahkan oleh Imam Syafi’i dan lain-lain.
Insya
Allah dengan keterangan singkat tentang hadits-hadits Rasulallah saw.
masalh Bid’ah, akan bisa membuka pikiran kita untuk mengetahui bid’ah
mana yang haram dan bid’ah yang Hasanah/baik. Untuk lebih lengkapnya
keterangan yang saya kutip dalam hal bid’ah ini, silahkan membaca buku
Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah oleh H.M.H Al-HAMID – AL-HUSAINI.
Qadha (penggantian) Sholat yang ketinggalan dan dalil-dalil yang berkaitan dengannya :
Sebagian
golongan muslimin telah membid’ahkan, mengharamkan/mem batalkan
mengqadha/mengganti sholat yang sengaja tidak dikerjakan pada waktunya.
Mereka ini berpegang pada wejangan Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah yang
mengatakan tidak sah orang yang ketinggalan sholat fardhu
dengan sengaja untuk menggantinya/qadha pada waktu sholat lainnya,
mereka harus menambah sholat-sholat sunnah untuk menutupi kekurangan-
nya tersebut. Tetapi pendapat Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah ini telah
terbantah oleh hadits-hadits dibawah ini dan ijma’ (kesepakatan) para
ulama pakar diantaranya Imam Hanafi, Malik dan Imam Syafi’i dan lainnya
tentang kewajiban qadha bagi yang meninggalkan sholat baik dengan sengaja maupun tidak sengaja. Mari kita ikuti beberapa hadits tentang qadha sholat berikut ini :
1). HR.Bukhori, Muslim dari Anas bin Malik ra.: “Siapa yang lupa (melaksanakan) suatu sholat atau tertidur dari (melaksanakan)nya, maka kifaratnya (tebusannya) adalah melakukannya jika dia ingat”. Ibnu Hajr Al-‘Asqalany dalam Al-Fath II:71 ketika menerangkan makna hadits ini berkata; ‘Kewajiban menggadha sholat atas orang yang sengaja meninggalkannya itu lebih utama. Karena hal itu termasuk sasaran Khitab (perintah) untuk melaksanakan sholat, dan dia harus melakukannya…’.
Yang dimaksud Ibnu Hajr ialah kalau perintah Rasulallah saw. bagi orang yang ketinggalan sholat karena lupa dan tertidur itu
harus diqadha, apalagi untuk sholat yang disengaja ditinggalkan itu
malah lebih utama/wajib untuk menggadhanya. Maka bagaimana dan darimana
dalilnya orang bisa mengatakan bahwa sholat yang sengaja ditinggalkan itu tidak wajib/tidak sah untuk diqadha ?
Begitu juga hadits itu menunjukkan bahwa orang yang ketinggalan sholat karena lupa atau tertidur tidak berdosa hanya wajib menggantinya. Tetapi orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja dia berdosa besar karena kesengajaannya meninggalkan sholat, sedangkan kewajiban qadha tetap berlaku baginya.
2).
Rasulallah saw. setelah sholat Dhuhur tidak sempat sholat sunnah dua
raka’at setelah dhuhur, beliau langsung membagi-bagikan harta, kemudian
sampai dengar adzan sholat Ashar. Setelah sholat Ashar beliau saw. sholat dua rakaat ringan, sebagai ganti/qadha sholat dua rakaat setelah dhuhur tersebut. (HR.Bukhori, Muslim dari Ummu Salamah).
3). Rasulallah saw. bersabda: ‘Barangsiapa tertidur atau terlupa dari mengerjakan shalat witir maka lakukanlah jika ia ingat atau setelah ia terbangun’. (HR.Tirmidzi dan Abu Daud).(dikutip dari at-taj 1:539)
4). Rasulallah saw. bila terhalang dari shalat malam karena tidur atau sakit maka beliau saw. menggantikannya dengan shalat dua belas rakaat diwaktu siang. (HR. Muslim dan Nasa’i dari Aisyah ra).(dikutip dari at-taj 1:539)
Nah
alau sholat sunnah muakkad setelah dhuhur, sholat witir dan sholat
malam yang tidak dikerjakan pada waktunya itu diganti/diqadha oleh
Rasulallah saw. pada waktu setelah sholat Ashar dan waktu-waktu lainnya,
maka sholat fardhu yang sengaja ketinggalan itu lebih utama diganti dari- pada sholat-sholat sunnah ini.
5).
HR Muslim dari Abu Qatadah, mengatakan bahwa ia teringat waktu safar
pernah Rasulallah saw. ketiduran dan terbangun waktu matahari menyinari
punggungnya. Kami terbangun dengan terkejut. Rasulallah saw. bersabda:
Naiklah (ketunggangan masing-masing) dan kami menunggangi (tunggang- an
kami) dan kami berjalan. Ketika matahari telah meninggi, kami turun.
Kemudian beliau saw. berwudu dan Bilal adzan utk melaksanakan sholat
(shubuh yang ketinggalan). Rasulallah saw. melakukan sholat sunnah
sebelum shubuh kemudian sholat shubuh setelah selesai beliau saw.
menaiki tunggangannya.
Ada
sementara yang berbisik pada temannya; ‘Apakah kifarat (tebusan)
terhadap apa yang kita lakukan dengan mengurangi kesempurnaan shalat
kita (at-tafrith fi ash-sholah)? Kemudian Rasulallah saw. bersabda: ’Bukan kah aku sebagai teladan bagi kalian’?, dan selanjutnya beliau bersabda : ‘Sebetulnya jika karena tidur (atau lupa) berarti tidak ada tafrith (kelalaian atau kekurangan dalam pelaksanaan ibadah, maknanya juga tidak berdosa). Yang dinamakan kekurangan dalam pelaksanaan ibadah (tafrith) yaitu orang yang tidak melakukan (dengan sengaja) sholat sampai datang lagi waktu sholat lainnya….’. (Juga Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Imaran bin Husain dengan kata-kata yang mirip, begitu juga Imam Bukhori dari Imran bin Husain).
Hadits ini tidak lain berarti bahwa orang yang dinamakan lalai/meng- gampangkan sholat ialah bila meninggalkan sholat dengan sengaja dan dia berdosa, tapi bila karena tertidur atau lupa maka dia tidak berdosa, kedua-duanya wajib menggadha sholat yang ketinggalan tersebut. Dan dalam hadits ini tidak
menyebutkan bahwa orang tidak boleh/haram menggadha sholat yang
ketinggalan kecuali selain dari yang lupa atau tertidur, tapi hadits ini
menyebutkan tidak ada kelalaian (berdosa) bagi orang yang
meninggal- kan sholat karena tertidur atau lupa. Dengan demikian tidak
ada dalam kalimat hadits larangan untuk menggadha sholat !
6). Jabir bin Abdullah ra.meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab ra. pernah datang pada hari (peperangan) Khandaq
setelah matahari terbenam. Dia mencela orang kafir Quraisy, kemudian
berkata; ‘Wahai Rasulallah, aku masih melakukan sholat Ashar hingga
(ketika itu) matahari hampir terbenam’. Maka Rasulallah saw. menjawab :
‘Demi Allah aku tidak (belum) melakukan sholat Ashar itu’. Lalu kami
berdiri (dan pergi) ke Bith-han. Beliau saw. berwudu untuk
(melaksanakan) sholat dan kami pun berwudu untuk melakukannya. Beliau
saw. (melakukan) sholat Ashar setelah matahari terbenam. Kemudian
setelah itu beliau saw. melaksanakan sholat Maghrib. (HR.Bukhori dalam
Bab ‘orang yg melakukan sholat bersama orang lain secara berjama’ah
setelah waktunya lewat’, Imam Muslim I ;438 hadits nr. 631,
meriwayatkannya juga, didalam Al-Fath II:68, dan pada bab ‘meng- gadha sholat yang paling utama’ dalam Al-Fath Al-Barri II:72)
7). Begitu juga dalam kitab Fiqih empat madzhab atau Fiqih lima madzhab bab 25 sholat Qadha’
menulis: Para ulama sepakat (termasuk Imam Hanafi, Imam Malik, Imam
Syafi’i dan lainnya) bahwa barangsiapa ketinggalan shalat fardhu maka ia
wajib menggantinya/menggadhanya. Baik shalat itu ditinggal- kannya
dengan sengaja, lupa, tidak tahu maupun karena ketiduran.
Memang terdapat perselisihan antara imam madzhab (Hanafi, Malik, Syafi’i dan lainnya), perselisihan antara mereka ini ialah apakah ada kewajiban qadha atas orang gila, pingsan dan orang mabuk.
8). Dalam kitab fiqih Sunnah Sayyid Sabiq (bahasa Indonesia) jilid 2 hal. 195 bab Menggadha Sholat diterangkan: Menurut madzhab jumhur termasuk disini Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i mengatakan orang yang sengaja meninggalkan sholat itu berdosa dan ia tetap wajib meng- gadhanya.
Yang menolak pendapat qadha dan ijma’ ulama ialah Ibnu Hazm dan Ibnu
Taimiyyah, mereka ini membatalkan (tidak sah) untuk menggadha sholat !!
Dalam buku ini diterangkan panjang lebar alasan dua imam ini. (Tetapi
alasan dua imam ini terbantah juga oleh hadits-hadits diatas dan ijma’
para ulama pakar termasuk disini Imam Hanafi, Malik, Syafi’i dan ulama
pakar lainnya yang mewajibkan qadha atas sholat yang sengaja ditinggal-
kan. Mereka ini juga bathil dari sudut dalil dan berlawanan dengan
madzhab jumhur—pen.).
Kesimpulan :
Kalau
kita baca hadits-hadits diatas semuanya masalah qadha sholat, dengan
demikian buat kita insya Allah sudah jelas bahwa menggadha/meng-
gantikan sholat yang ketinggalan baik secara disengaja maupun tidak
disengaja menurut ijma’ ulama hukumnya wajib, sebagaimana yang
diutarakan oleh ulama-ulama pakar yang telah diakui oleh ulama-ulama
dunia yaitu Imam Hanafi, Imam Malik dan Imam Syafi’i. Hanya perbedaan
antara yang disengaja dan tidak disengaja ialah masalah dosanya jadi bukan masalah qadhanya.
Semoga
dengan adanya dalil-dalil yang cukup jelas ini bisa menjadikan manfaat
bagi kita semua. Semoga kita semua tidak saling cela-mencela atau merasa
pahamnya/anutannya yang paling benar.
Sholat sunnah Qabliyah (sebelum) sholat Jum’at
Sebagian
orang telah membid’ahkan sholat sunnah qabliyah jum’at ini. Menurut
pandangan mereka hal ini tidak pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw.
atau para sahabat. Padahal kalau kita teliti cukup banyak hadits serta
wejangan ulama pakar ahli fiqih dalam madzhab Syafi’i dan lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung
yang berkaitan dengan sunnah- nya sholat qabliyah jum’at ini. Mari kita
ikuti hadits-hadits yang berkaitan dengan sholat sunnah diantaranya :
Hadits riwayat Bukhori dan Muslim : “Dari Abdullah bin Mughaffal al-Muzanni, ia berkata; Rasulallah saw. bersabda: ‘Antara dua adzan itu terdapat shalat’”. Menurut para ulama yang dimaksud antara dua adzan ialah antara adzan dan iqamah.
Mengenai
hadits ini tidak ada seorang ulamapun yang meragukan keshohih- annya
karena dia disamping diriwayatkan oleh Bukhori Muslim juga diriwayat kan
oleh Ahmad dan Abu Ya’la dalam kitab Musnadnya. Dari hadits ini saja
kita sudah dapat memahami bahwa Nabi saw. menganjurkan supaya diantara
adzan dan iqamah itu dilakukan sholat sunnah dahulu, termasuk dalam
katergori ini sholat sunnah qabliyah jum’at. Tetapi nyatanya para
golongan pengingkar tidak mengamalkan amalan sunnah ini karena mereka anggap amalan bid’ah.
Riwayat dalam sunan Turmudzi II/18: “Diriwayatkan
dari Abdullah bin Mas’ud bahwasanya beliau melakukan shalat sunnah
qabliyah jum’at sebanyak empat raka’at dan sholat ba’diyah (setelah) jum’at sebanyak empat raka’at pula”.
Abdullah
bin Mas’ud merupakan sahabat Nabi saw. yang utama dan tertua,
dipercayai oleh Nabi sebagai pembawa amanah sehingga beliau selalu dekat
dengan nabi saw. Beliau wafat pada tahun 32 H. Kalau seorang sahabat
Nabi yang utama dan selalu dekat dengan beliau saw. mengamal- kan suatu
ibadah, maka tentu ibadahnya itu diambil dari sunnah Nabi saw.
Penulis kitab Hujjatu Ahlis Sunnah Wal-Jama’ah setelah mengutip riwayat Abdullah bin Mas’ud tersebut mengatakan: “Secara dhohir (lahiriyah) apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Mas’ud itu adalah berdasarkan petunjuk langsung dari Nabi Muhammad saw.”
Dalam
kitab Sunan Turmudzi itu dikatakan pula bahwa Imam Sufyan ats-Tsauri
dan Ibnul Mubarak beramal sebagaimana yang diamalkan oleh Abdullah bin
Mas’ud ( Al-Majmu’ 1V/10).
Hadits riwayat Abu Daud: “Dari
Ibnu Umar ra. bahwasanya ia senantiasa memanjangkan shalat qabliyyah
jum’at. Dan ia juga melakukan shalat ba’diyyah jum’at dua raka’at. Ia
menceriterakan bahwasanya Rasulallah saw. senantiasa melakukan hal yang
demikian”.(Nailul Authar III/313).
Penilaian beberapa ulama mengenai hadits terakhir diatas ialah: Imam Syaukani berkata: ‘Menurut Hafidz al-Iraqi, hadits Ibnu Umar itu isnadnya shohih’. ; Hafidz Ibnu Mulqin dalam kitabnya yang berjudul Ar-Risalah berkata: ‘Isnadnya shohih tanpa ada keraguan’. ; Imam Nawawi dalam Al-Khulashah mengatakan : ‘Hadits tersebut shohih menurut persyaratan Imam Bukhori. Juga telah dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam shohihnya’.
Hadits
riwayat Ibnu Majah : “Dari Abu Hurairah dan Abu Sufyan dari Jabir,
keduanya berkata; Telah datang Sulaik al-Ghathfani diketika Rasulallah
saw. tengah berkhutbah (khotbah jum’at). Lalu Nabi saw bertanya kepada- nya: ‘Apakah engkau sudah shalat dua raka’at sebelum datang kesini ?’ Dia menjawab; Belum. Nabi saw. bersabda; ‘Shalatlah kamu dua raka’at dan ringkaskan shalatmu itu’ “. (Nailul Authar III/318).
Jelas
sekali dalam hadits ini bagaimana Rasulallah saw. menganjurkan (pada
orang itu) shalat sunnah qabliyyah jum’at dua raka’at sebelum duduk
mendengarkan khutbah. Juga dalam menerangkan hadits ini Syeikh
Syihabuddin al-Qalyubi wafat 1070H mengatakan; bahwa hadits ini nyata dan jelas berkenaan dengan shalat sunnah qabliyah jum’at, bukan shalat tahiyyatul masjid. Hal ini dikarenakan tahiyyatul masjid tidak boleh dikerjakan dirumah atau diluar masjid melainkan harus dikerjakan di masjid.
Syeikh
Umairoh berkata: Andai ada orang yang mengatakan bahwa yang disabdakan
oleh Nabi itu mungkin sholat tahiyyatul masjid, maka dapat dijawab “Tidak Mungkin”. Sebab shalat tahiyyatul masjid tidak dapat dilaku- kan diluar masjid, sedangkan nabi saw. (waktu itu) bertanya; Apakah engkau sudah sholat sebelum (dirumahnya) datang kesini ? (Al-Qalyubi wa Umairoh 1/212).
Begitu juga Imam Syaukani ketika mengomentari hadits riwayat Ibnu Majah tersebut mengatakan dengan tegas :
Sabda Nabi saw. ‘sebelum engkau datang kesini’ menunjukkan
bahwa sholat dua raka’at itu adalah sunnah qabliyyah jum’at dan bukan
sholat sunnah tahiyyatul masjid“.(Nailul Authar III/318)
Mengenai derajat hadits riwayat Ibnu Majah itu Imam Syaukani berkata ; ‘Hadits Ibnu Majah ini perawi-perawinya adalah orang kepercayaan’. Begitu juga Hafidz al-Iraqi berkata: ‘Hadits Ibnu Majah ini adalah hadits shohih’.
Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Thabrani: “Dari
Abdullah bin Zubair, ia berkata, Rasulallah saw. bersabda : ‘Tidak ada
satupun sholat yang fardhu kecuali disunnahkan sebelumnya shalat dua
raka’at’ “. Menurut kandungan hadits ini jelas bahwa disunnahkan juga shalat qabliyyah jum’at sebelum sholat fardhu jum’at dikerjakan.
Mengenai derajat hadits ini Imam Hafidz as-Suyuthi mengatakan : ‘Ini adalah hadits shohih’ dan Ibnu Hibban berkata ; ‘Hadits ini adalah shohih’. Sedang- kan Syeikh al-Kurdi berkata: “Dalil yang paling kuat untuk dijadikan pegang- an dalam hal disyariatkannya sholat sunnah dua raka’at qabliyyah jum’at
adalah hadits yang dipandang shohih oleh Ibnu Hibban yakni hadits
Abdullah bin Zubair yang marfu’ (bersambung sanadnya sampai kepada Nabi
saw.) yang artinya: ‘Tidak ada satupun shalat yang fardhu kecuali disunnahkan sebelumnya shalat dua raka’at’ “.
Demikianlah beberapa hadits yang shohih diatas sebagai dalil disunnah- kannya sholat qabliyyah jum’at. Sedangkan kesimpulan beberapa ulama ahli fiqih khususnya dalam madzhab Syafi’i tentang hukum sholat sunnah qabliyyah jum’at yang tertulis dalam kitab-kitab mereka ialah :
Hasiyah al-Bajuri 1/137 :
“Shalat
jum’at itu sama dengan shalat Dhuhur dalam perkara yang disunnahkan
untuknya. Maka disunnahkan sebelum jum’at itu empat raka’at dan
sesudahnya juga empat raka’at”.
Al-Majmu’ Syarah Muhazzab 1V/9 :
“Disunnahkan
shalat sebelum dan sesudah jum’at. Minimalnya adalah dua raka’at
qabliyyah dan dua raka’at ba’diyyah (setelah sholat jum’at). Dan yang
lebih sempurna adalah empat raka’at qabliyyah dan empat raka’at
ba’diyyah’.
Iqna’ oleh Syeikh Khatib Syarbini 1/99 :
“Jum’at itu sama seperti shalat Dhuhur.Disunnahkan sebelumnya empat raka’at dan sesudahnya juga empat raka’at”.
Minhajut Thalibin oleh Imam Nawawi :
“Disunnahkan shalat sebelum Jum’at sebagaimana shalat sebelum Dzuhur”.
Begitu juga masih banyak pandangan ulama pakar berbagai madzhab mengenai sunnahnya sholat qabliyyah jum’at ini.
Dengan keterangan-keterangan
singkat mengenai kesunnahan sholat qabliyyah jum’at, kita akan memahami
bahwa ini semua adalah sunnah Rasulallah saw., bukan sebagai amalan
bid’ah. Semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah swt.
Keterangan singkat mengenai mengangkat tangan waktu berdo’a
Sebagian golongan ada yang membid’ahkan mengangkat
kedua tangan waktu berdo’a. Sebenarnya ini sama sekali tidak ada
larangan dalam agama, malah sebaliknya ada hadits bahwa Rasulallah saw.
mengangkat tangan waktu berdo’a. Begitupun juga ulama-ulama pakar dari
berbagai madzhab (Hanafi, Maliki , Syafi’i dan lain sebagainya) selalu
mengangkat tangan waktu berdo’a, karena hal ini termasuk adab atau tata tertib cara berdo’a kepada Allah swt.
Dalam
kitab Riyaadus Shalihin jilid 2 terjemahan bahasa Indonesia oleh
Almarhum H.Salim Bahreisj cetakan keempat tahun 1978 meriwayatkan sebuah
hadits :
Sa’ad
bin Abi Waqqash ra.berkata: Kami bersama Rasulallah saw. keluar dari
Makkah menuju ke Madinah, dan ketika kami telah mendekati Azwara,
tiba-tiba Rasulallah saw. turun dari kendaraannya, kemudian mengangkat kedua tangan berdo’a sejenak lalu sujud lama sekali, kemudian bangun mengangkat kedua tangannya berdo’a, kemudian sujud kembali, diulanginya perbuatan itu tiga kali. Kemudian berkata: ‘Sesungguhnya saya minta kepada Tuhan supaya di-izinkan memberikan syafa’at (bantuan)
bagi ummat ku, maka saya sujud syukur kepada Tuhanku, kemudian saya
mengangkat kepala dan minta pula kepada Tuhan dan diperkenankan untuk
sepertiga, maka saya sujud syukur kepada Tuhan, kemudian saya mengangkat
kepala berdo’a minta untuk ummatku, maka diterima oleh Tuhan, maka saya
sujud syukur kepada Tuhanku’. (HR.Abu Dawud).
Dalam
hadits ini menerangkan bahwa Rasulallah saw. tiga kali berdo’a sambil
mengangkat tangannya setiap berdo’a, dengan demikian berdo’a sambil
mengangkat tangan adalah termasuk sunnah Rasulallah saw..
Dalam Kitab Fiqih Sunnah Sayid Sabiq (bahasa Indonesia) buku yang sering diandalkan juga oleh golongan pengingkar jilid
4 cetakan pertama tahun 1978 halaman 274-275 diterbitkan oleh PT
Alma’arif, Bandung Indonesia, dihalaman ini ditulis sebagai berikut :
Berdasarkan riwayat Abu Daud dari Ibnu Abbas ra., katanya :
“Jika kamu meminta (berdo’a kepada Allah swt.) hendaklah dengan mengangkat kedua tanganmu setentang kedua bahumu atau kira-kira setentangnya, dan jika istiqhfar (mohon ampunan) ialah dengan menunjuk dengan sebuah jari, dan jika berdo’a dengan melepas semua jari-jemari tangan”.
Malah dalam hadits ini, kita diberi tahu sampai dimana batas sunnahnya mengangkat
tangan waktu berdo’a, dan waktu mengangkat tangan tersebut disunnahkan
dengan menunjuk sebuah jari waktu mohon ampunan, melepas semua jari-jari
tangan (membuka telapak tangannya) waktu berdo’a selain istiqfar.
Diriwayatkan dari Malik bin Yasar bahwa Rasulallah saw. bersabda :
“Jika kamu meminta Allah, maka mintalah dengan bagian dalam telapak tanganmu, jangan dengan punggungnya !” Sedang dari Salman, sabda Nabi saw : “Sesungguhnya Tuhanmu yang Mahaberkah dan Mahatinggi adalah Mahahidup lagi Mahamurah, ia merasa malu terhadap hamba-Nya jika ia menadahkan tangan (untuk berdo’a) kepada-Nya, akan menolaknya dengan tangan hampa”.
Lihat
hadits ini Allah swt. tidak akan menolak do’a hamba-Nya waktu berdo’a
sambil menadahkan tangan kepadaNya, dengan demikian do’a kita akan lebih
besar harapan dikabulkan oleh-Nya!
Sedangkan hadits yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim dari Anas bin Malik ra. menuturkan :
“Aku pernah melihat Rasulallah saw. mengangkat dua tangan keatas saat berdo’a sehingga tampak warna keputih-putihan pada ketiak beliau”.
Masih
ada hadits yang beredar mengenai mengangkat tangan waktu berdo’a.
Dengan hadits-hadits diatas ini, cukup buat kita sebagai dalil atas sunnahnya mengangkat tangan waktu berdo’a kepada Allah swt. Bagi saudaraku muslim yang tidak mau angkat tangan waktu berdo’a, silahkan, tapi
janganlah mencela atau membid’ahkan saudara muslim lainnya yang
mengangkat tangan waktu berdo’a !. Karena mengangkat tangan waktu
berdo’a adalah sebagai adab atau sopan santun cara berdo’a
kepada Allah swt. dan hal ini diamalkan oleh para salaf dan para ulama
pakar (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Imam Ahmad –radhiyallahu ‘anhum–
dan para imam lainnya).
Janganlah
kita cepat membid’ahkan sesuatu amalan karena membaca satu hadits dan
mengenyampingkan hadits lainnya. Semuanya ini amalan-amalan sunnah,
siapa yang mengamalkan tersebut akan dapat pahala, dan yang tidak
mengamalkan hal tersebut juga tidak berdosa. Karena membid’ahkan sesat
sama saja mengharamkan amalan tersebut.
Menyebut nama Rasulallah saw. dengan awalan kata sayyidina atau maulana
Sebagian orang membid’ahkan panggilan Sayyidinaa atau Maulana
didepan nama Muhammad Rasulallah saw., dengan alasan bahwa Rasulallah
saw. sendiri yang menganjurkan kepada kita tanpa mengagung-agungkan
dimuka nama beliau saw. Memang golongan ini mudah sekali membid’ahkan sesuatu
amalan tanpa melihat motif makna yang dimaksud Bid’ah itu apa. Mari
kita rujuk ayat-ayat Ilahi dan hadits-hadits Rasulallah saw. yang
berkaitan dengan kata-kata sayyid.
Syeikh Muhammad Sulaiman Faraj dalam risalahnya yang berjudul panjang yaitu Dala’ilul-Mahabbah Wa Ta’dzimul-Maqam Fis-Shalati Was-Salam ‘AN Sayyidil-Anam dengan tegas mengatakan: Menyebut nama Rasulallah saw. dengan tambahan kata Sayyidina (junjungan kita) didepannya merupakan suatu keharusan
bagi setiap muslim yang mencintai beliau saw. Sebab kata tersebut
menunjukkan kemuliaan martabat dan ketinggian kedudukan beliau. Allah
swt.memerintahkan ummat Islam supaya menjunjung tinggi martabat
Rasulallah saw., menghormati dan memuliakan beliau, bahkan melarang kita
memanggil atau menyebut nama beliau dengan cara sebagaimana kita
menyebut nama orang diantara sesama kita. Larangan tersebut tidak
berarti lain kecuali untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan Rasulallah
saw. Allah swt.berfirman :
“Janganlah kalian memanggil Rasul (Muhammad) seperti kalian memanggil sesama orang diantara kalian”. (S.An-Nur : 63).
Dalam tafsirnya mengenai ayat diatas ini Ash-Shawi
mengatakan: Makna ayat itu ialah janganlah kalian memanggil atau
menyebut nama Rasulallah saw. cukup dengan nama beliau saja, seperti Hai
Muhammad atau cukup dengan nama julukannya saja Hai Abul Qasim.
Hendaklah kalian menyebut namanya atau memanggilnya dengan penuh hormat,
dengan menyebut kemuliaan dan keagungannya. Demikianlah yang dimaksud
oleh ayat tersebut diatas. Jadi, tidak patut bagi kita menyebut nama
beliau saw.tanpa menunjukkan
penghormatan dan pemuliaan kita kepada beliau saw., baik dikala beliau
masih hidup didunia maupun setelah beliau kembali keharibaan Allah swt.
Yang sudah jelas ialah bahwa orang yang tidak mengindahkan ayat tersebut
berarti tidak mengindahkan larangan Allah dalam Al-Qur’an. Sikap
demikian bukanlah sikap orang beriman.
Menurut Ibnu Jarir,
dalam menafsirkan ayat tersebut Qatadah mengatakan : Dengan ayat itu
(An-Nur:63) Allah memerintahkan ummat Islam supaya memuliakan dan
mengagungkan Rasulallah saw.
Dalam kitab Al-Iklil Fi Istinbathit-Tanzil Imam
Suyuthi mengatakan: Dengan turunnya ayat tersebut Allah melarang ummat
Islam menyebut beliau saw. atau memanggil beliau hanya dengan namanya,
tetapi harus menyebut atau memanggil beliau dengan Ya Rasulallah atau Ya
Nabiyullah. Menurut kenyataan sebutan atau panggilan demikian itu tetap berlaku, kendati beliau telah wafat.
Dalam kitab Fathul-Bari
syarh Shahihil Bukhori juga terdapat penegasan seperti tersebut diatas,
dengan tambahan keterangan sebuah riwayat berasal dari Ibnu ‘Abbas ra.
yang diriwayatkan oleh Ad-Dhahhak, bahwa sebelum ayat tersebut turun
kaum Muslimin memanggil Rasulallah saw. hanya dengan Hai Muhammad, Hai Ahmad, Hai Abul-Qasim
dan lain sebagainya. Dengan menurunkan ayat itu Allah swt. melarang
mereka menyebut atau memanggil Rasulallah saw. dengan ucapan-ucapan
tadi. Mereka kemudian menggantinya dengan kata-kata : Ya Rasulallah, dan Ya Nabiyullah.
Hampir
seluruh ulama Islam dan para ahli Fiqih berbagai madzhab mempunyai
pendapat yang sama mengenai soal tersebut, yaitu bahwa mereka semuanya melarang orang menggunakan sebutan atau panggilan sebagaimana yang dilakukan orang sebelum ayat tersebut diatas turun.
Didalam
Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan makna tersebut
diatas. Antara lain firman Allah swt. dalam surat Al-A’raf : 157 ;
Al-Fath : 8-9, Al-Insyirah : 4 dan lain sebagainya. Dalam ayat-ayat ini
Allah swt. memuji kaum muslimin yang bersikap hormat dan memuliakan
Rasulallah saw., bahkan menyebut mereka sebagai orang-orang yang
beruntung. Juga firman Allah swt. mengajarkan kepada kita tatakrama yang
mana dalam firman-Nya tidak pernah memanggil atau menyebut Rasul-Nya
dengan kalimat Hai Muhammad, tetapi memanggil beliau dengan kalimat Hai Rasul atau Hai Nabi.
Firman-firman
Allah swt. tersebut cukup gamblang dan jelas membuktikan bahwa Allah
swt. mengangkat dan menjunjung Rasul-Nya sedemikian tinggi, hingga layak
disebut sayyidina atau junjungan kita Muhammad Rasulallah saw.
Menyebut nama beliau saw. tanpa diawali dengan kata yang menunjuk- kan
penghormatan, seperti sayyidina tidak sesuai dengan pengagungan yang selayaknya kepada kedudukan dan martabat beliau.
Dalam surat Aali-‘Imran:39 Allah swt. menyebut Nabi Yahya as. dengan predikat sayyid :
“…Allah memberi kabar gembira kepadamu (Hai Zakariya) akan kelahiran seorang puteramu, Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang dari) Allah, seorang sayyid (terkemuka, panutan), (sanggup) menahan diri (dari hawa nafsu) dan Nabi dari keturunan orang-orang sholeh”.
Para penghuni neraka pun menyebut orang-orang yang menjerumuskan mereka dengan istilah saadat (jamak dari kata sayyid), yang berarti para pemimpin. Penyesalan mereka dilukiskan Allah swt.dalam firman-Nya :
“Dan mereka (penghuni neraka) berkata : ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati para pemimpin (sadatanaa) dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar”. (S.Al-Ahzab:67).
Juga seorang suami dapat disebut dengan kata sayyid, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah swt. dalam surat Yusuf : 25 :
“Wanita itu menarik qamis (baju) Yusuf dari belakang hingga koyak, kemudian kedua-duanya memergoki sayyid (suami) wanita itu didepan pintu”. Dalam kisah ini yang dimaksud suami ialah raja Mesir.
Demikian juga kata Maula yang
berarti pengasuh, penguasa, penolong dan lain sebagainya. Banyak
terdapat didalam Al-Qur’anul-Karim kata-kata ini, antara lain dalam
surat Ad-Dukhan: 41 Allah berfirman :
“…Hari (kiamat) dimana seorang maula (pelindung) tidak dapat memberi manfaat apa pun kepada maula (yang dilindunginya) dan mereka tidak akan tertolong”.
Juga dalam firman Allah swt. dalam Al-Maidah : 55 disebutkan juga kalimat Maula untuk Allah swt., Rasul dan orang yang beriman.
Jadi
kalau kata sayyid itu dapat digunakan untuk menyebut Nabi Yahya putera
Zakariya, dapat digunakan untuk menyebut raja Mesir, bahkan dapat juga
digunakan untuk menyebut pemimpin yang semuanya itu menunjuk kan kedudukan seseorangalasan apa yang dapat digunakan untuk menolak sebutan sayyid bagi junjungan kita Nabi Muhammad saw. Demikian pula soal penggunaan kata maula . Apakah bid’ah jika seorang menyebut nama seorang Nabi yang diimani dan dicintainya dengan awalan sayyidina atau maulana ?!
Mengapa
orang yang menyebut nama seorang pejabat tinggi pemerintahan, kepada
para president, para raja atau menteri, atau kepada diri seseorang
dengan awalan ‘Yang Mulia’ tidak dituduh berbuat bid’ah ? Tidak salah kalau ada orang yang mengatakan, bahwa sikap menolak penggunaan kata sayyid atau maula untuk mengawali penyebutan nama Rasulallah saw. itu sesungguhnya dari pikiran meremehkan kedudukan dan martabat beliau saw. Atau sekurang-kurang hendak menyamakan kedudukan dan martabat beliau saw. dengan manusia awam/biasa.
Sebagaimana
kita ketahui, dewasa ini masih banyak orang yang menyebut nama
Rasulallah saw. tanpa diawali dengan kata sayyidina dan tanpa
dilanjutkan dengan kalimat sallahu ‘alaihi wasallam (saw). Menyebut nama
Rasulallah dengan cara demikian menunjukkan sikap tak kenal hormat pada
diri orang yang bersangkutan. Cara demikian itu lazim dilakukan oleh
orang-orang diluar Islam, seperti kaum orientalis barat dan lain
sebagainya. Sikap kaum orientalis ini tidak boleh kita tiru.
Banyak hadits-hadits shohih yang menggunakan kata sayyid, beberapa diantaranya ialah :
“Setiap anak Adam adalah sayyid. Seorang suami adalah sayyid bagi isterinya dan seorang isteri adalah sayyidah bagi keluarganya (rumah tangga nya)”. (HR Bukhori dan Adz-Dzahabi).
Jadi
kalau setiap anak Adam saja dapat disebut sayyid, apakah anak Adam yang
paling tinggi martabatnya dan paling mulia kedudukannya disisi Allah yaitu junjungan kita Nabi Muhammad saw. tidak boleh disebut sayyid ?
Didalam
shohih Muslim terdapat sebuah hadits, bahwasanya Rasulallah saw.
memberitahu para sahabatnya, bahwa pada hari kiamat kelak Allah swt.
akan menggugat hamba-hambaNya : “Bukankah engkau telah Ku-muliakan dan Ku-jadikan sayyid ?” (alam ukrimuka wa usawwiduka?)
Makna
hadits itu ialah, bahwa Allah swt. telah memberikan kemuliaan dan
kedudukan tinggi kepada setiap manusia. Kalau setiap manusia dikarunia
kemuliaan dan kedudukan tinggi, apakah manusia pilihan Allah yang diutus
sebagai Nabi dan Rasul tidak jauh lebih mulia dan lebih tinggi
kedudukan dan martabatnya daripada manusia lainnya ? Kalau
manusia-manusia biasa saja dapat disebut sayyid , mengapa Rasulallah saw. tidak boleh disebut sayyid atau maula ?
Dalil-dalil orang yang membantah dan jawabannya
– Ada sementara orang terkelabui oleh pengarang hadits palsu yang berbunyi: “Laa tusayyiduunii fis-shalah”
artinya “Jangan menyebutku (Nabi Muhammad saw) sayyid didalam sholat”.
Tampaknya pengarang hadits palsu yang mengatas namakan Rasulallah saw.
untuk mempertahankan pendiriannya itu lupa atau memang tidak mengerti bahwa didalam bahasa Arab tidak pernah terdapat kata kerja tusayyidu. Tidak ada kemungkinan sama sekali Rasulallah saw.mengucapkan kata-kata dengan bahasa Arab gadungan seperti yang dilukiskan oleh pengarang hadits palsu tersebut. Dilihat dari segi bahasanya saja, hadits itu tampak jelas kepalsuannya. Namun untuk lebih kuat membuktikan kepalsuan hadits tersebut baiklah kami kemukakan beberapa pendapat yang dinyatakan oleh para ulama.
Dalam kitab Al-Hawi ,
atas pertanyaan mengenai hadits tersebut Imam Jalaluddin As-Suyuthi
menjawab tegas : “Tidak pernah ada (hadits tersebut), itu bathil !”.
Imam Al-Hafidz As-Sakhawi dalam kitab Al-Maqashidul-Al-Hasanah menegaskan : “ Hadits itu tidak karuan sumbernya ! “
Imam
Jalaluddin Al-Muhli, Imam As-Syamsur-Ramli, Imam Ibnu Hajar
Al-Haitsami, Imam Al-Qari, para ahli Fiqih madzhab Sayfi’i dan madzhab
Maliki dan lain-lainnya, semuanya mengatakan : “Hadits itu sama sekali
tidak benar”.
– Selain hadits palsu diatas tersebut, masih ada hadits palsu lainnya yang semakna, yaitu yang berbunyi : “La tu’adzdzimuunii fil-masjid” artinya ; “Jangan mengagungkan aku (Nabi Muhammad saw.) di masjid”.
Dalam kitab Kasyful Khufa Imam Al-Hafidz Al-‘Ajluni dengan tegas mengata- kan: “Itu bathil !”. Demikian pula Imam As-Sakhawi dalam kitab Maulid-nya yang berjudul Kanzul-‘Ifah menyatakan tentang hadits ini: “Kebohongan yang diada-adakan”.
Memang masuk akal kalau ada orang yang berkata seperti itu yakni jangan mengagungkan aku di masjid kepada para hadirin didalam masjid, sebab ucapannya itu merupakan tawadhu’ (rendah hati). Akan tetapi kalau dikatakan bahwa perkataan tersebut diucapkan oleh Rasulallah saw. atau sebagai hadits beliau saw., jelas hal itu suatu pemalsuan yang terlampau berani.
Mari kita lanjutkan tentang hadits-hadits yang menggunakan kata sayyid berikut ini:
– Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dalam Shohihnya bahwa Rasulallah saw.bersabda : “Aku sayyid anak Adam…”
. Jelaslah bahwa kata sayyid dalam hal ini berarti pemimpin ummat,
orang yang paling terhormat dan paling mulia dan paling sempurna dalam
segala hal sehingga dapat menjadi panutan serta teladan bagi ummat yang
dipimpinnya.
Ibnu ‘Abbas ra mengatakan, bahwa makna sayyid dalam hadits tersebut ialah orang yang paling mulia disisi Allah. Qatadah ra. mengatakan, bahwa Rasulallah saw. adalah seorang sayyid yang tidak pernah dapat dikalahkan oleh amarahnya.
– Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Majah dan At-Turmudzi, Rasulallah saw. bersabda :
“Aku adalah sayyid anak Adam pada hari kiamat”.
Surmber riwayat lain yang diketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal,
Imam Bukhori dan Imam Muslim, mengatakan bahwa Rasulallah saw. bersabda :
“Aku sayyid semua manusia pada hari kiamat”.
Hadit tersebut diberi makna oleh Rasulallah saw. sendiri dengan penjelas- annya: ‘Pada hari kiamat, Adam dan para Nabi keturunannya berada dibawah panjiku”.
Sumber riwayat lain mengatakan lebih tegas lagi, yaitu bahwa Rasulallah saw. bersabda : “Aku sayyid dua alam”.
– Riwayat yang berasal dari Abu Nu’aim sebagaimana tercantum didalam kitab Dala’ilun-Nubuwwah mengatakan bahwa Rasulallah saw. bersabda : “Aku sayyid kaum Mu’minin pada saat mereka dibangkitkan kembali (pada hari kiamat)”.
– Hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Khatib mengatakan, bahwa Rasulallah saw. bersabda: “Aku Imam kaum muslimin dan sayyid kaum yang bertaqwa”.
– Sebuah hadits yang dengan terang mengisyaratkan keharusan menyebut nama Rasulallah saw. diawali dengan kata sayyidina diketengahkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Hadits yang mempunyai isnad shohih ini berasal dari Jabir bin ‘Abdullah ra. yang mengatakan sebagai berikut:
“Pada
suatu hari kulihat Rasulallah saw. naik keatas mimbar. Setelah
memanjatkan puji syukur kehadirat Allah saw. beliau bertanya : ‘Siapakah aku ini ?’ Kami menyahut: Rasulallah ! Beliau bertanya lagi: ‘Ya, benar, tetapi siapakah aku ini ?’. Kami menjawab : Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul-Mutthalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf ! Beliau kemudian menyatakan : ‘Aku sayyid anak Adam….’.”
Riwayat
hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa Rasulallah saw. lebih suka
kalau para sahabatnya menyebut nama beliau dengan kata sayyid. Dengan
kata sayyid itu menunjukkan perbedaan kedudukan beliau dari kedudukan
para Nabi dan Rasul terdahulu, bahkan dari semua manusia sejagat.
Semua
hadits tersebut diatas menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulallah saw.
adalah sayyid anak Adam, sayyid kaum muslimin, sayyid dua alam
(al-‘alamain), sayyid kaum yang bertakwa. Tidak diragukan lagi bahwa
menggunakan kata sayyidina untuk mengawali penyebutan nama Rasulallah
saw. merupakan suatu yang dianjurkan bagi setiap muslim yang mencintai
beliau saw.
– Demikian pula soal kata Maula, Imam Ahmad bin Hanbal di dalam Musnad nya, Imam Turmduzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah mengetengahkan sebuah hadits, bahwa Rasulallah saw. bersabda :
“Man kuntu maulahu fa ‘aliyyun maulahu” artinya : “Barangsiapa aku menjadi maula-nya (pemimpinnya). ‘Ali (bin Abi Thalib) adalah maula-nya…”
– Dari hadits semuanya diatas tersebut kita pun mengetahui dengan jelas bahwa Rasulallah saw. adalah sayyidina dan maulana
(pemimpin kita). Demikian juga para ahlu-baitnya (keluarganya), semua
adalah sayyidina. Al-Bukhori meriwayatkan bahwa Rasulallah saw. pernah
berkata kepada puteri beliau, Siti Fathimah ra :
“Yaa Fathimah amaa tardhiina an takuunii sayyidata nisaail mu’minin au sayyidata nisaai hadzihil ummati” artinya : “Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum mu’minin (kaum orang-orang yang beriman) atau sayyidah kaum wanita ummat ini ?”
– Dalam
shohih Muslim hadits tersebut berbunyi: “Yaa Fathimah amaa tardhiina an
takuunii sayyidata nisaail mu’mininat au sayyidata nisaai hadzihil
ummati” artinya : “Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah mu’mininat (kaum wanitanya orang-orang yang beriman) atau sayyidah kaum wanita ummat ini ?”
– Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad, Rasulallah saw. berkata kepada puterinya (Siti Fathimah ra) :
“Amaa tardhiina an takuunii sayyidata sayyidata nisaa hadzihil ummati au nisaail ‘Alamina” artinya : “…Apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum wanita ummat ini, atau sayyidah kaum wanita sedunia ?”
Demikianlah pula halnya terhadap dua orang cucu Rasulallah saw. Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma. Imam
Bukhori dan At-Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits yang berisnad shohih
bahwa pada suatu hari Rasulallah saw. bersabda : “Al-Hasanu wal Husainu
sayyida asybaabi ahlil jannati” artinya : “Al-Hasan dan Al-Husain dua orang sayyid pemuda ahli surga”.
Berdasarkan hadits-hadits diatas itu kita menyebut puteri Rasulallah saw. Siti Fathimah Az-Zahra dengan kata awalan sayyidatuna. Demikianlah pula terhadap dua orang cucu Rasulallah saw. Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma.
– Ketika
Sa’ad bin Mu’adz ra. diangkat oleh Rasulallah saw. sebagai penguasa
kaum Yahudi Bani Quraidah (setelah mereka tunduk kepada kekuasaan kaum
muslimin), Rasulallah saw. mengutus seorang memanggil Sa’ad supaya
datang menghadap beliau. Sa’ad datang berkendaraan keledai, saat itu
Rasulallah saw. berkata kepada orang-orang yang hadir: “Guumuu ilaa
sayyidikum au ilaa khoirikum” artinya : “Berdirilah menghormati sayyid (pemimpin) kalian, atau orang terbaik diantara kalian”.
Rasulallah saw. menyuruh mereka berdiri bukan karena Sa’ad dalam keadaan sakit sementara fihak menafsirkan mereka disuruh berdiri untuk menolong Sa’ad turun dari keledainya, karena dalam keadaan sakit sebab jika Sa’ad dalam keadaan sakit, tentu Rasulallah saw. tidak menyuruh mereka semua menghormat kedatangan Sa’ad, melainkan menyuruh beberapa orang saja untuk berdiri menolong Sa’ad.
Sekalipun
–misalnya– Rasulallah saw. melarang para sahabatnya berdiri menghormati
beliau saw, tetapi beliau sendiri malah memerintahkan mereka supaya
berdiri menghormati Sa’ad bin Mu’adz, apakah artinya ? Itulah tatakrama Islam. Kita harus dapat memahami apa yang dikehendaki oleh Rasulallah saw. dengan larangan dan perintahnya mengenai
soal yang sama itu. Tidak ada ayah, ibu , kakak dan guru yang secara
terang-terangan minta dihormati oleh anak, adik dan murid, akan tetapi
si anak, si adik dan si murid harus merasa dirinya wajib
menghormati ayahnya, ibunya, kakaknya dan gurunya. Demikian juga
Rasulallah saw. sekalipun beliau menyadari kedudukan dan martabatnya
yang sedemikian tinggi disisi Allah swt, beliau tidak menuntut supaya ummatnya memuliakan dan mengagung-agungkan beliau. Akan tetapi kita, ummat Rasulallah saw., harus merasa wajib menghormati, memuliakan dan mengagungkan beliau saw.
Allah swt. berfirman dalam Al-Ahzab: 6 : “Bagi orang-orang yang beriman, Nabi (Muhammad saw.) lebih utama daripada diri mereka sendiri, dan para isterinya adalah ibu-ibu mereka”.
Ibnu
‘Abbas ra. menyatakan: Beliau adalah ayah mereka’ yakni ayah semua
orang beiman! Ayat suci diatas ini jelas maknanya, tidak memerlukan
penjelasan apa pun juga, bahwa Rasulallah saw. lebih utama dari semua
orang beriman dan para isteri beliau wajib dipandang sebagai ibu-ibu seluruh ummat Islam ! Apakah setelah keterangan semua diatas ini orang yang menyebut nama beliau dengan tambahan kata awalan sayyidina atau maulana pantas dituduh berbuat bid’ah? Semoga Allah swt. memberi hidayah kepada kita semua. Amin
–
Ibnu Mas’ud ra. mengatakan kepada orang-orang yang menuntut ilmu
kepadanya: “Apabila kalian mengucapkan shalawat Nabi hendaklah kalian
mengucapkan shalawat dengan sebaik-baiknya. Kalian tidak tahu bahwa
sholawat itu akan disampaikan kepada beliau saw., karena itu ucapkanlah :
‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat-Mu, rahmat-Mu dan berkah-Mu kepada Sayyidul-Mursalin (pemimpin para Nabi dan Rasulallah) dan Imamul-Muttaqin (Panutan orang-orang bertakwa)”
– Para sahabat Nabi juga menggunakan kata sayyid untuk saling menyebut nama masing-masing, sebagai tanda saling hormat-menghormati dan harga-menghargai. Didalam Al-Mustadrak
Al-Hakim mengetengahkan sebuah hadits dengan isnad shohih, bahwa “Abu
Hurairah ra. dalam menjawab ucapan salam Al-Hasan bin ‘Ali ra. selalu
mengatakan “Alaikassalam ya sayyidi”. Atas pertanyaan seorang sahabat ia menjawab: ‘Aku mendengar sendiri Rasulallah saw. menyebutnya (Al-Hasan ra.) sayyid’ “.
– Ibnu ‘Athaillah dalam bukunya Miftahul-Falah mengenai
pembicaraannya soal sholawat Nabi mewanti-wanti pembacanya sebagai
berikut: “Hendak- nya anda berhati-hati jangan sampai meninggalkan
lafadz sayyidina dalam bersholawat, karena didalam lafadz itu
terdapat rahasia yang tampak jelas bagi orang yang selalu
mengamalkannya”. Dan masih banyak lagi wejangan para ulama pakar cara
sebaik-baiknya membaca sholawat pada Rasulallah saw. yang tidak
tercantum disini.
Nah,
kiranya cukuplah sudah uraian diatas mengenai penggunaan kata sayyidina
atau maulana untuk mengawali penyebutan nama Rasulallah saw.. Setelah
orang mengetahui banyak hadits Nabi yang menerangkan persoalan itu yakni
menggunakan kata awalan sayyid, apakah masih ada yang
bersikeras tidak mau menggunakan kata sayyidina dalam menyebut nama
beliau saw.?, dan apanya yang salah dalam hal ini ?
Apakah
orang yang demikian itu hendak mengingkari martabat Rasulallah saw.
sebagai Sayyidul-Mursalin (penghulu para Rasulallah) dan Habibu
Rabbil-‘alamin (Kesayangan Allah Rabbul ‘alamin) ?
Bagaimana tercelanya orang yang berani membid’ahkan
penyebutan sayyidina atau maulana dimuka nama beliau saw.? Yang lebih
aneh lagi sekarang banyak diantara golongan pengingkar ini sendiri yang
memanggil nama satu sama lain diawali dengan sayyid atau minta juga agar
mereka dipanggil sayyid dimuka nama mereka !
Penggunaan Tasbih bukanlah bid’ah sesat.
Sering
yang kita dengar dari golongan muslimin diantaranya dari madzhab
Wahabi/Salafi dan pengikutnya yang melarang orang menggunakan Tasbih waktu berdzikir. Sudah tentu sebagaimana kebiasaan golongan ini alasan mereka melarang dan sampai-sampai berani membid’ahkan sesat karena menurut paham mereka bahwa Rasulallah saw. para sahabat tidak ada yang menggunakan tasbih waktu berdzikir !
‘Tasbih’ atau yang dalam bahasa Arab disebut dengan nama ‘Subhah’
adalah butiran-butiran yang dirangkai untuk menghitung jumlah banyaknya
dzikir yang diucapkan oleh seseorang, dengan lidah atau dengan hati.
Dalam bahasa Sanskerta kuno, tasbih disebut dengan nama Jibmala yang berarti hitungan dzikir.
Orang berbeda pendapat mengenai asal-usul
penggunaan tasbih. Ada yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari orang
Arab, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari India
yaitu dari kebiasaan orang-orang Hindu. Ada pula orang yang mengatakan
bahwa pada mulanya kebiasaan memakai tasbih dilakukan oleh kaum Brahmana
di India. Setelah Budhisme lahir, para biksu Budha menggunakan tasbih
menurut hitungan Wisnuisme, yaitu 108 butir. Ketika Budhisme menyebar
keberbagai negeri, para rahib Nasrani juga menggunakan tasbih, meniru
biksu-biksu Budha. Semuanya ini terjadi pada zaman sebelum islam.
Kemudian
datanglah Islam, suatu agama yang memerintahkan para pemeluk nya untuk
berdzikir (ingat) juga kepada Allah swt. sebagai salah satu bentuk
peribadatan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.. Perintah dzikir
bersifat umum, tanpa pembatasan jumlah tertentu dan tidak terikat juga
oleh keadaan-keadaan tertentu. Banyak sekali firman Allah swt. dalam
Al-Qur’an agar orang banyak berdzikir dalam setiap keadaan atau situasi,
umpama berdzikir sambil berdiri, duduk, berbaring dan lain sebagainya.
Sehubungan
dengan itu terdapat banyak hadits yang menganjurkan jumlah dan waktu
berdzikir, misalnya seusai sholat fardhu yaitu tiga puluh tiga kali
dengan ucapan Subhanallah, tiga puluh tiga kali Alhamdulillah dan tiga puluh tiga kali Allahu Akbar, kemudian dilengkapi menjadi seratus dengan ucapan kalimat tauhid ‘Laa ilaaha illallahu wahdahu….’.
Kecuali itu terdapat pula hadits-hadits lain yang menerangkan keutamaan
berbagai ucapan dzikir bila disebut sepuluh atau seratus kali. Dengan
adanya hadits-hadits yang menetapkan jumlah dzikir seperti itu maka
dengan sendirinya orang yang berdzikir perlu mengetahui jumlahnya yang
pasti.
Hadits-hadits yang berkaitan dengan cara menghitung dzikir
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai dan Al-Hakim berasal dari Ibnu Umar ra. yang mengatakan:
“Rasulallah
saw. menghitung dzikirnya dengan jari-jari dan menyarankan para
sahabatnya supaya mengikuti cara beliau saw.”. Para Imam ahli hadits
tersebut juga meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Bisrah, seorang wanita dari kaum Muhajirin, yang mengatakan bahwa Rasulallah saw. pernah berkata:
“Hendaklah kalian senantiasa bertasbih (berdzikir),
bertahlil dan bertaqdis (yakni berdzikir dengan menyebut ke–Esa-an dan
ke-Suci-an Allah swt.). Janganlah kalian sampai lupa hingga kalian akan
melupakan tauhid. Hitunglah dzikir kalian dengan jari, karena jari-jari
kelak akan ditanya oleh Allah dan akan diminta berbicara” .
Perhatikanlah: Anjuran menghitung dengan jari dalam hadits itu tidak berarti melarang
orang menghitung dzikir dengan cara lain !!!. Untuk mengharamkan atau
memunkarkan suatu amalan haruslah mendatangkan nash yang khusus tentang
itu, tidak seenaknya sendiri saja!!
Imam Tirmidzi, Al-Hakim dan Thabarani meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Shofiyyah yang mengatakan: “Bahwa pada suatu saat Rasulallah saw. datang kerumahnya. Beliau melihat empat ribu butir biji kurma yang biasa digunakan oleh Shofiyyah untuk menghitung dzikir. Beliau saw. bertanya; ‘Hai binti Huyay, apakah itu ?‘ Shofiyyah menjawab ; ‘Itulah yang kupergunakan untuk menghitung dzikir’. Beliau saw. berkata lagi; ‘Sesungguhnya engkau dapat berdzikir lebih banyak dari itu’. Shofiyyah menyahut; ‘Ya Rasulallah, ajarilah aku’. Rasulallah saw. kemudian berkata; ‘Sebutlah, Maha Suci Allah sebanyak ciptaan-Nya’ ”. (Hadits shohih).
Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits yang dinilai sebagai hadits hasan/baik oleh An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim yaitu hadits yang berasal dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra. yang mengatakan:
“Bahwa pada suatu hari Rasulallah saw. singgah dirumah seorang wanita. Beliau melihat banyak batu kerikil yang biasa dipergunakan oleh wanita itu untuk menghitung dzikir. Beliau bertanya; ‘Maukah engkau kuberitahu cara yang lebih mudah dari itu dan lebih afdhal/utama ?’ Sebut sajalah kalimat-kalimat sebagai berikut :
‘Subhanallahi
‘adada maa kholaga fis samaai, subhanallahi ‘adada maa kholaga fil
ardhi, subhanallahi ‘adada maa baina dzaalika, Allahu akbaru mitslu
dzaalika, wal hamdu lillahi mitslu dzaalika, wa laa ilaaha illallahu
mitslu dzaalika wa laa guwwata illaa billahi mitslu dzaalika’ ”.
Yang
artinya : ‘Maha suci Allah sebanyak makhluk-Nya yang dilangit, Maha
suci Allah sebanyak makhluk-Nya yang dibumi, Maha suci Allah sebanyak
makhluk ciptaan-Nya. (sebutkan juga) Allah Maha Besar, seperti tadi,
Puji syukur kepada Allah seperti tadi, Tidak ada Tuhan selain Allah,
seperti tadi dan tidak ada kekuatan kecuali dari Allah, seperti tadi !’
“.
Lihat dua hadits diatas ini, Rasulallah saw. melihat Shofiyyah menggunakan biji kurma untuk menghitung dzikirnya, beliau saw. tidak melarangnya atau tidak mengatakan bahwa dia harus berdzikir dengan jari-jarinya, malah beliau saw. berkata kepadanya engkau dapat berdzikir lebih banyak dari itu !! Begitu juga beliau saw. tidak melarang seorang wanita lainnya yang menggunakan batu kerikil untuk menghitung dzikirnya dengan kata lain beliau saw. tidak mengatakan kepada wanita itu, buanglah batu kerikil itu dan hitunglah dzikirmu dengan jari-jarimu !
Beliau
saw. malah mengajarkan kepada mereka berdua bacaan-bacaan yang lebih
utama dan lebih mudah dibaca. Sedangkan berapa jumlah dzikir yang harus
dibaca, tidak ditentukan oleh Rasulallah saw. jadi terserah kemampuan
mereka.
Banyak riwayat bahwa para sahabat Nabi saw. dan kaum salaf yang sholeh pun menggunakan biji kurma, batu-batu kerikil, bundelan-bundelan benang
dan lain sebagainya untuk menghitung dzikir yang dibaca. Ternyata tidak
ada orang yang menyalahkan atau membid’ahkan sesat mereka !!
Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnadnya meriwayatkan bahwa seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Shofiyyah menghitung dzikirnya dengan batu-batu kerikil. Riwayat ini dikemukakan juga oleh Imam Al-Baihaqi dalam Mu’jamus Shahabah; ”‘bahwa Abu Shofiyyah, maula Rasulallah saw. menghamparkan selembar kulit kemudian mengambil sebuah kantong berisi batu-batu kerikil,
lalu duduk berdzikir hingga tengah hari. Setelah itu ia
menyingkirkannya. Seusai sholat dhuhur ia mengambilnya lagi lalu
berdzikir hingga sore hari “.
Abu Dawud meriwayatkan; ‘bahwa Abu Hurairah ra. mempunyai sebuah kantong berisi batu kerikil.
Ia duduk bersimpuh diatas tempat tidurnya ditunggui oleh seorang hamba
sahaya wanita berkulit hitam. Abu Hurairah berdzikir dan menghitungnya
dengan batu-batu kerikil yang berada dalam kantong itu. Bila batu-batu
itu habis dipergunakan, hamba sahayanya menyerahkan kembali batu-batu
kerikil itu kepadanya’.
Abu Syaibah juga mengutip hadits ‘Ikrimah yang mengatakan; ‘bahwa Abu Hurairah mempunyai seutas benang dengan bundelan seribu buah. Ia baru tidur setelah berdzikir dua belas ribu kali’.
Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya bab Zuhud mengemukakan; ‘bahwa Abu Darda ra. mempunyai sejumlah biji kurma yang disimpan dalam kantong. Usai sholat shubuh biji kurma itu dikeluarkan satu persatu untuk menghitung dzikir hingga habis’.
Abu Syaibah juga mengatakan; ‘bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash ra menghitung dzikirnya dengan batu kerikil atau biji kurma. Demikian pula Abu Sa’id Al-Khudri ’.
Dalam kitab Al-Manahil Al-Musalsalah Abdulbaqi
mengetengahkan sebuah riwayat yang mengatakan; ‘bahwa Fathimah binti
Al-Husain ra mempunyai benang yang banyak bundelannya untuk menghitung
dzikir ’.
Dalam kitab Al-Kamil , Al-Mubarrad mengatakan; “bahwa ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas ra (wafat th 110 H) mempunyai lima ratus butir biji zaitun. Tiap hari ia menghitung raka’at-raka’at sholat sunnahnya dengan biji itu, sehingga banyak orang yang menyebut namanya dengan ‘Dzu Nafatsat’ “.
Abul Qasim At-Thabari dalam kitab Karamatul-Auliya mengatakan: ‘Banyak sekali orang-orang keramat yang menggunakan tasbih untuk menghitung dzikir, antara lain Syeikh Abu Muslim Al-Khaulani dan lain-lain’.
Menurut
riwayat bentuk tasbih yang kita kenal pada zaman sekarang ini baru
dipergunakan orang mulai abad ke 2 Hijriah. Ketika itu nama ‘tasbih’
belum digunanakan untuk menyebut alat penghitung dzikir. Hal itu
diperkuat oleh Az-Zabidi yang mengutip keterangan dari gurunya didalam kitab Tajul-‘Arus .
Sejak masa itu tasbih mulai banyak dipergunakan orang dimana-mana. Pada
masa itu masih ada beberapa ulama yang memandang penggunaan tasbih
untuk menghitung dzikir sebagai hal yang kurang baik. Oleh karena itu
tidak aneh kalau ada orang yang pernah bertanya pada seorang Waliyullah
yang bernama Al-Junaid: ‘Apakah orang semulia anda mau memegang tasbih ?. Al-Junaid menjawab: ‘Jalan yang mendekatkan diriku kepada Allah swt. tidak akan kutinggalkan’.(Ar-Risalah Al-Qusyariyyah).
Sejak abad ke 5 Hijriah penggunaan tasbih makin meluas dikalangan kaum muslimin, termasuk kaum wanitanya yang tekun beribadah. Tidak ada berita riwayat, baik yang berasal dari kaum Salaf maupun dari kaum Khalaf (generasi muslimin berikutnya) yang menyebutkan adanya larangan penggunaan tasbih, dan tidak ada pula yang memandang penggunaan tasbih sebagai perbuatan munkar!!
Pada
zaman kita sekarang ini bentuk tasbih terdiri dari seratus buah butiran
atau tiga puluh tiga butir, sesuai dengan jumlah banyaknya dzikir yang
disebut-sebut dalam hadits-hadits shohih. Bentuk tasbih ini malah lebih praktis dan mudah dibandingkan pada masa zaman nya Rasulallah saw. dan masa sebelum abad kedua Hijriah. Begitu juga untuk menghitung jumlah dzikir agama Islam tidak menetapkan cara tertentu. Hal itu diserahkan kepada masing-masing orang yang berdzikir.
Cara apa saja untuk menghitung bacaan dzikir itu asalkan bacaan dan alat menghitung yang tidak yang dilarang menurut Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw.. itu mustahab/baik untuk diamalkan. Berdasarkan riwayat-riwayat hadits yang telah dikemukakan diatas jelaslah, bahwa menghitung dzikir bukan dengan jari adalah sah/boleh. Begitu juga benda apa pun yang digunakan sebagai tasbih untuk menghitung dzikir, tidak bisa lain, orang tetap menggunakan tangan atau jarinya juga,
bukan menggunakan kakinya!! Dengan demikian jari-jari ini juga
digunakan untuk kebaikan !! Malah sekarang banyak kita para ulama pakar
maupun kaum muslimin lainnya sering menggunakan tasbih bila berdzikir.
Jadi
masalah menghitung dengan butiran-butiran tasbih sesungguhnya tidak
perlu dipersoalkan, apalagi kalau ada orang yang menganggapnya sebagai ‘bid’ah dholalah’. Yang perlu kita ketahui ialah : Manakah yang lebih baik, menghitung dzikir dengan jari tanpa menggunakan tasbih ataukah dengan menggunakan tasbih ?
Menurut Ibnu ‘Umar ra. menghitung dzikir dengan jari (daripada dengan batu kerikil, biji kurma dll) lebih afdhal/utama. Akan tetapi
Ibnu ‘Umar juga mengatakan jika orang yang berdzikir tidak akan salah
hitung dengan menggunakan jari, itulah yang afdhal. Jika tidak demikian
maka mengguna- kan tasbih lebih afdhal.
Perlu juga diketahui, bahwa menghitung dzikir dengan tasbih disunnahkan menggunakan tangan kanan,
yaitu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Salaf. Hal itu disebut dalam
hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lain-lain. Dalam
soal dzikir yang paling penting dan wajib diperhatikan baik-baik ialah
kekhusyu’an, apa yang diucapkan dengan lisan juga dalam hati
mengikutinya. Maksudnya bila lisan mengucapkan Subhanallah maka dalam
hati juga memantapkan kata-kata yang sama yaitu Subhanallah. Allah
swt. melihat apa yang ada didalam hati orang yang berdzikir, bukan
melihat kepada benda (tasbih) yang digunakan untuk menghitung dzikir!! Wallahu a’lam.
Insya
Allah dengan keterangan singkat ini, para pembaca bisa menilai sendiri
apakah benar yang dikatakan golongan pengingkar bahwa penggunaan Tasbih
adalah munkar, bid’ah dholalah/sesat dn lain sebagainya ??? Semoga Allah
swt. memberi hidayah kepada semua kaum muslimin. Amin.