Jumat, 27 Maret 2015

Tentang IHSAN (2)

Tidak ada komentar:
Ketika Allah SWT memerintahkan manusia untuk beraktivitas, hal terpenting yang diperintahkan-Nya adalah melakukan aktivitas tersebut dengan sebaik-baiknya dan tidak berlepas tangan begitu saja. Beliau (Allah) juga memberikan metode, agar manusia bisa beraktivitas sebaik-baiknya. Metode yang diajarkan-Nya adalah ketika mereka bekerja, mereka haruslah sadar bahwa pekerjaan itu dilaksanakan di hadapan-Nya, atau mereka menyadari bahwa Allah senantiasa mengawasi ketika mereka melaksanakan pekerjaan. Itulah hakikat ihsan, benar-benar antara kita dengan Allah.


Ihsan ada beberapa tingkatan, yaitu:
  • Pengawasan Allah dan takut kepada-Nya
  • Malu kepada Allah
  • Harmonis kepada Allah
a. Pengawasan Allah dan takut kepada-Nya

Pengawasan Allah adalah bagaimana seorang hamba menyembah Tuhannya seolah-olah Beliau hadir di hadapannya, melihatnya dan memperhatikannya melakukan ibadah. Jika kita menyembah Allah dengan cara seperti ini di dunia, balasannya adalah memandang wajah-Nya dengan jelas pada hari akhirat kelak.

وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.
(QS al-Qiyâmah [75]: 22)

إِلىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
Kepada Tuhannyalah mereka melihat.(QS al-Qiyâmah [75]: 23)
Imam Muslim meriwayatkan dari Shuhaib bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda:

إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ يَقُوْلُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالىَ: تُرِيْدُوْنَ شَيْئًا أَزِيْدُكُمْ؟ فَيَقُوْلُوْنَ: أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوْهَنَا، أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنْجِنَا مِنَ النَّارِ؟ فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنَ النَّظَرِ إِلىَ رَبِّهِمْ
Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah berfirman, “Maukah kalian kutambah sesuatu?” Mereka menjawab, “Bukankah Engkau telah memutihkan wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke surga dan menghindarkan kami dari neraka?” Kemudian disingkapkanlah penghalang itu, tidak ada sesuatu yang paling diinginkan melainkan hanya melihat wajah-Nya.

Kemudian Rasulullah membaca ayat:

لِلَّذِيْنَ أَحْسَنُوا ٱلْحُسْنىٰ وَزِيَادَةٌ
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. (QS Yûnus [10]: 26)

Jadi, diharuskan bagi kita untuk selalu awas (sadar) bahwa Allah senantiasa mengawasi dan mengintai kita, karena hal itu akan melahirkan rasa takut (takwa) kepada-Nya.

إِنَّ رَبَّكَ لَبِٱلْمِرْصَادِ
Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi (mengintai).
(QS al-Fajr [89]: 14)

إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
(QS an-Nisâ’ [4]: 1)
Diperintahkan juga agar kita taat beribadah dan bersungguh-sungguh untuk melaksanakannya dengan sempurna. Ilmu Allah mencakup segala sesuatu, tidak ada yang tersembunyi dari-Nya segala apa yang ada di bumi dan di langit. Allah mendengar suara langkah kaki semut hitam di atas batu cadas hitam-kelam di malam yang gelap. Allah mengetahui dan melihat biji mostar di atas batu yang licin penuh lumut. Setiap daun jatuh, setiap bisikan dan setiap hembusan nafas didengar-Nya. Allah Maha Mengetahui peristiwa yang telah, sedang dan akan terjadi.

Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).(QS al-An‘âm [6]: 59)
Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
(QS al-Hadîd [57]: 4)
Berikut ini kisah yang juga menceritakan tentang ihsan. Diriwayatkan dari Baihaqi dan yang lainnya, bahwa suatu malam Umar bin Khaththab bersama seorang peronda berjalan keliling kota. Sampai di sebuah rumah, mereka mendengar perbincangan seorang ibu dengan anak gadisnya. Sang ibu menyuruh anaknya mencampur susu yang akan dijual esok hari dengan air karena sedikit sekali hasil perahan yang diperoleh tadi siang. Sang ibu berkata,
“Wahai anakku, campurlah susu itu dengan air.”
“Apa Ibu tidak tahu kalau Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab melarang kita mencampur susu dengan air?” jawab sang anak.
“Sesungguhnya Amirul Mukminin tidak melihat kita sekarang,” tukas si ibu.
Gadis itu berkata lagi,
“Ibu, jika Amirul Mukminin tidak melihat kita, tapi Tuhan Amirul Mukminin melihat kita. Demi Allah, aku tidak mau jika aku mematuhi Amirul Mukminin di hadapan khalayak ramai, tapi mengkhianatinya di tempat sepi.”
Subhânallâh. Betapa hebatnya gadis itu, dia selalu meyakini bahwa Allah benar-benar mengawasi. Al-Junaid mengatakan bahwa siapa yang dapat merealisasikan pengawasan (murâqabah), maka dia takut kehilangan bagian yang diperoleh dari Tuhannya, bukan takut pada yang lain.

Menurut Dzun Nun al-Mishri, yang dimaksud hubungan pengawasan adalah mementingkan sesuatu yang telah dipentingkan oleh Allah, mengagungkan sesuatu yang telah diagungkan oleh-Nya dan mengecilkan sesuatu yang telah dikecilkan oleh-Nya. Ia pernah ditanya,

“Dengan apakah seorang hamba dapat meraih surga?”
“Dengan lima hal. Istiqamah tanpa penyimpangan, kesungguhan tanpa kelalaian, murâqabah dalam kesunyian dan keramaian, menantikan kematian dengan penuh kesiapan, dan menghisab jiwa sebelum dihisab,” jawabnya.

Abu Hafsh berwasiat kepada Abu Utsman, “Apabila engkau duduk bersama orang lain, jadilah penasihat terhadap hatimu dan dirimu, serta janganlah kamu sampai tertipu oleh perkumpulan mereka. Mereka mengawasi lahirmu, sedangkan Allah mengawasi batinmu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
back to top