Setelah bertanya tentang Islam dan iman, Jibril bertanya kepada Rasulullah tentang ihsan. Nabi Muhammad saw. menjawab,
أَنْ تَعْـبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Engkau
menyembah (beribadah kepada) Allah seakan-akan engkau melihat-Nya dan
seandainya engkau tidak bisa mencapai keadaan itu, engkau harus yakin
bahwa Dia melihatmu.” (HR Bukhari dan Muslim)
Berikut ini kisah tentang implementasi ihsan dalam kehidupan sehari-hari. Pada suatu hari, Khalifah Umar bin Khaththab berjalan-jalan untuk melihat keadaan rakyat beliau. Sampailah beliau di sebuah padang rumput nan hijau. Di tempat itu, beliau melihat ada seorang anak sedang menggembalakan sekian banyak domba. Umar mendekati anak itu dan berkata,
“Wahai anakku, banyak sekali dombamu.”
”Tuan, domba-domba itu milik majikan saya. Saya hanya seorang penggembala,” jawab si penggembala.
Penggembala itu tidak tahu bahwa orang di hadapannya adalah Umar bin Khattab, sang Khalifah.
“Anakku, bagaimana kalau aku membeli satu ekor saja dari domba-dombamu. Boleh kan?”
“Maaf, Tuan. Kalau Tuan hendak membelinya, silakan ke majikan saya.”
“Anakku,
bagiku sama saja, aku membeli dari siapa pun juga tidak masalah.
Terimalah uang ini, kamu bisa kaya dengan uang ini. Toh majikanmu juga
tidak akan tahu. Bila ia bertanya tentang hilangnya satu ekor domba,
katakan saja domba itu dimakan srigala,” ucap Umar mencoba untuk
bernegosiasi
Penggembala
tadi termenung mendengar tawaran menarik dari Umar. Suara-suara setan
dan malaikat beriringan di dengarnya, mendengung di kepalanya, seolah
sedang terjadi peperangan maha dahsyat. Setan membisikkan,
“Hai
gembala, ambil saja uang itu! Bukankah majikanmu tidak akan tahu? Kalau
ia menghitung domba-dombanya, katakan saja domba itu dimakan srigala,
hilang karena lari tak terkejar, atau yang lain.”
“Jangan,
wahai gembala! Itu bukan hakmu. Domba-domba itu bukan milikmu, tapi
milik majikanmu. Tidak baik melakukan itu,” kata suara yang terdengar
begitu lembut, suara malaikat kebaikan.
“Aaahh...
Sekarang bukan zamannya. Yang penting kamu tidak menjadi penggembala
lagi. Kamu bisa bahagia, bisa membangun rumah yang indah. Kamu juga bisa
menolong teman-temanmu serta semua orang dengan uang itu. Tidakkah itu
baik?”
“Jangan,
duhai penggembala yang jujur... Ingatlah, akan ada kehidupan sesudah
ini. Akan ada balasan untuk setiap perbuatan. Ingatlah Allah!”
“Gembala! Kamu tidak usah memikirkan apa yang belum terjadi. Surga adalah dunia dan dunia adalah surga!”
Cukup lama penggembala tadi terdiam. Lalu, dengan tempo lambat serta nada yang lembut namun mantap dia pun berkata,
“Maaf,
Tuan. Domba-domba itu bukan milik saya. Memang, majikan saya tidak akan
tahu apa yang terjadi di antara kita. Bahkan, Amirul Mukminin, Umar bin
Khaththab juga tidak akan mendengar peristiwa yang terjadi di sini.
Tapi, Tuan, Lâ ilâha illallâh, bagaimana aku mengatakan pada majikanku
bahwa domba itu dimakan srigala? Tidak sadarkah Tuan bahwa Allah melihat
kita? Di manakah Allah (fa-aynallâh)?”
Mendengar
ungkapan jujur dari seorang anak kecil itu, mata Khalifah Umar pun
berkaca-kaca, hatinya gerimis, mengharu biru. Betapa anak sekecil itu
sudah menerapkan ihsan dalam kehidupannya yang tergolong sederhana.
Nasihatnya begitu dalam, menelusup sampai ke relung-relung kalbu,
mengalir bersama aliran darah dan menyatu sampai ke dalam sumsum tulang.
Dikisahkan
pula bahwa ada seorang guru memiliki seorang murid muda yang sangat
dihormati dan selalu diutamakannya. Sebagian murid yang lain merasa iri,
lalu bertanya pada sang guru,
“Mengapa Bapak menghormatinya, padahal ia masih muda dan kami lebih tua?
Kemudian
sang guru mengambil beberapa burung, lalu memberikan seekor burung dan
sebilah pisau kepada masing-masing muridnya seraya berkata,
“Masing-masing kalian hendaklah menyembelih burung itu di tempat yang
tidak dilihat oleh siapa pun.”
Setelah
beberapa lama, semua murid kembali dengan membawa burung yang telah
disembelih, kecuali murid muda itu. Ia kembali dengan membawa burung
yang masih hidup di tangannya. Gurunya pun bertanya,
“Mengapa engkau tidak menyembelihnya sebagaimana dilakukan oleh kawan-kawanmu?”
“Saya
tidak menemukan tempat di mana saya tidak dilihat oleh siapa pun,
karena Allah senantiasa melihatku di setiap tempat,” jawabnya.
Akhirnya semua murid mengakui murâqabah (perasaan selalu dalam pengawasan Allah) anak muda itu seraya berkata,
“Engkau memang berhak dihormati.”
Dua
buah cerita di atas telah menggambarkan penerapan ihsan dalam
keseharian. Namun, sepertinya hanya akan menjadi sekadar cerita,
sebagaimana kisah-kisah yang lain. Kenapa? Marilah kita tanyakan pada
diri kita, “Seandainya kita berada pada posisi penggembala kambing atau
murid muda itu, apa yang kita lakukan?”
Mungkin
kita akan melakukan hal yang sama, tapi rasanya berat sekali. Apalagi
meniru murid muda dari sang guru. Dalam kondisi sendirian, ia masih
tetap merasa dilihat Allah. Memang, kita bukan penggembala kambing atau
murid muda itu, tapi bukankah semua pekerjaan pada dasarnya sama?
Di
buku “ESQ POWER – Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan”, terdapat
contoh-contoh ihsan untuk bidang pekerjaan saat ini, yaitu:
- Seorang pegawai atau karyawan tidak disebut ihsan kalau dia hanya bisa mengerjakan perbuatan rutin saja, tetapi baru disebut ihsan kalau dia mahir dalam pekerjaannya, kreatif, bagus hasilnya, menyenangkan kawan kerjanya dan masyarakat. Semua dilakukan demi menggapai ridha Ilahi.
- Seorang pilot baru disebut ihsan, jika ia mahir dalam mengendalikan pesawatnya, memahami dengan baik tentang cuaca berbagai tempat, penuh cinta dengan pekerjaannya, sayang kepada para penumpangnya dan selalu ingat kepada Allah yang menundukkan pesawat itu kepada dirinya (manusia).
- Seorang manajer perusahaan baru dikatakan ihsan, jika ia dapat mengatur perusahaannya dengan baik (memajukan perusahaan), dicintai dan mencintai karyawannya (menyejahterakan karyawan), pandai dalam berkomunikasi dengan masyarakat (memberikan manfaat yang besar bagi lingkungannya) dan selalu ingat kepada Allah yang telah memberi kesempatan baginya untuk bekerja dengan leluasa.
Daftar Pustaka :
- ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
- Ary Ginanjar Agustian, “ESQ POWER – Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan”, Penerbit Arga, Cetakan Kesembilan : Mei 2006
- Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
- sumber tulisan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar