Kebencian
yang ada didalam hati dan dada segelintir umat Islam terhadap amaliyah
umat Islam seperti Tahlilan mengantarkan mereka pada perbuatan yang
sangat buruk dan keji. Diantaranya menuduh Tahlilan sebagai ajaran Hindu
sebagaimana disebarkan disosial media dan situs milik orang-orang
Wahhabi.
Biasanya orang-orang Wahabi -umumnya
orang-orang yang tidak membidangi ilmu-ilmu keislaman- dengan pemikiran
sempitnya menuduh Tahlilan sebagai ajaran Hindu dengan membawa ‘dalil’
dari salah satu kitab Hindu. Misalnya terkait waktu Tahlilan yang biasa
dilakukan masyarakat. Wahabi mengutip:
“Termashurlah selamatan yang diadakan
pada hari pertama, ketujuh, empat puluh, seratus dan seribu” (Kitab
Manawa Dharma Sastra Weda Smerti hal. 99, 192, 193).
Membantah wahhabi yang membawakan isi
kitab Hindu untuk menyerang amaliyah umat Islam sebenarnya sama saja
dengan mengajari mereka tentang agama Islam dari paling dasar. Butuh
waktu mengajari ilmu pada mereka, belum lagi tingkat kemampuan mencerna
mereka yang berbeda-beda sehingga ada yang paham dan ada yang tidak,
bahkan sulit paham.
1. Bila semisal ada kesamaan antara
unsur amaliyah umat Islam dengan apa yang berlaku pada umat Hindu, maka
bukan berarti umat Islam mengikuti ajaran Hindu.
Bila ada umat Islam yang berpuasa, bukan
berarti umat Islam puasa meniru umat lain. Bila umat Islam berdo’a,
bukan berarti umat Islam berdo’a dalam rangka mengikuti agama lain. Bila
khutbah Jum’at pakai bahasa Indonesia, bukan berarti umat Islam meniru
khutbah yang dilakukan umat lain (pendeta, biksu, dll). Demikian pula Umat Islam yang mengamalkan menggelar Tahlilan TIDAK dalam rangka mengikuti ajaran Hindu.
2. Umat Islam melakukan amaliyahnya
dengan berdasarkan pada sumber-sumber hukum Islam. Sumber hukum Islam
adalah Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Tidak menjadikan kitab
Hindu sebagai sumber hukum amaliyah mereka. Sedangkan penuduh
yang menjadikan kitab Hindu sebagai dalil mereka untuk menyerang umat
Islam sama saja mereka telah menambah-nambah sumber hukum dalam Islam.
3. Selamatan (dalam kitab Hindu
tersebut) tidak sama dengan Tahlilan atau Selamatan Kematian yang
dilakukan oleh umat Islam. Perbedaan ini sangat jelas. Umat Islam
bertauhid sedangkan Hindu tidak. Selamatan (yang ada dalam ajaran Hindu)
juga kita tidak pernah tahu. Karena kita tidak tahu ajaran Hindu maka kita ber-amaliyah bukan meniru Hindu.
Sedangkan Tahlilan bagi umat Islam hakikatnya adalah do’a dan ihdatust tsawab
(menghadiahkan pahala). Kita berkumpul dalam rangka berdzikir kepada
Allah kemudian dihadiahkan kepada orang yang meninggal. Kita berdo’a dan
memohon kepada Allah karena kita umat Islam, sehingga bila ada yang menuduh Tahlilan sebagai ajaran Hindu berarti mereka telah menuduh umat Islam berdo’a kepada selain Allah.
Ihdauts Tsawab (menghadiahkan pahala)
bukan meniru ajaran diluar Islam (Hindu, Buddha, dll) tetapi Ihdaus
Tsawab adalah murni ajaran Islam yang terang bederang. Pembahasan
mengenai Ihdauts Tsawab banyak didalam kitab ulama Islam. Orang yang tidak mengetahui mengenai Ihdauts Tsawab sudah bisa dipastikan orang yang tidak pernah menyentuh kitab-kitab ulama, dan kemungkinan besar memang orang yang bodoh tulen, tidak bisa disangkal lagi, harus diakui.
4. Adakah dalam ajaran Hindu membaca bacaan Tahlilan?. Orang
yang menuduh Tahlilan berasal dari Hindu itu karena mereka
mendefinisikan Tahlilan hanya dengan istilah 7, 40, 100 hari dan lainnya.
Sedangkan Tahlilan bagi umat Islam itu hakikatnya adalah Ihdauts Tsawab
(menghadiahkan pahala) untuk orang yang meninggal dunia.
5. Oleh karena itu, dalam
Tahlilan umat Islam melakukan dzikir (seperti kalimat thayyibah La Ilaha
Ilallah, dll), baca al-Qur’an, baca do’a kepada Allah, baca shalawat
kepada Nabi, bershadaqah dan sebagainya lalu menghadihkan
kepada orang yang meninggal sambil berdo’a “Ya Allah sampaikan pahala
bacaan ini kepada Fulan”. Ulama sepakat sampai kepada yang meninggal
dunia. Apakah ini ada dalam ajaran Hindu?. Gunakanlah akal sehat bila
tidak sakit, tetapi bila sakit, semoga cepat sembuh… !
6. Terkait dengan penentuan hari, umat Islam mendasarkannya pada kaidah-kaidah hukum Islam, bukan ajaran Hindu.
Pihak penuduh kerap kali ngotot dengan tuduhannya meskipun sudah
dijelaskan berulang-ulang. Mengapa ngotot? karena kebencian yang ada
dalam di hati mereka.
Menentukan Hari Menurut Ulama
Perlu kembali di ingat, Tahlilan
hakikatnya adalah ihdauts tsawab/ menghadiahkan pahala. Ihsauts Tsawab
bisa dilakukan kapan saja, sendirian atau bersama-sama, dimana saja
(rumah, masjid, mushalla, kosan, dan sebagainya). Contoh: Umat Islam
yang selesai shalat sendirian, lalu kirim Fatihah, dzikir dan berdo’a
untuk keluarganya yang meninggal atau umat Islam lainnya, itu juga bisa
termasuk Tahlilan.
Lalu bagaimana kalau menentukan hari
(waktu)?. Kaidah hukum menentukan hari ini diperbolehkan didalam Islam,
sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (Ahli Hadits/
Amirul Mukminin fil Hadits). Apa dasar bolehnya menentukan hari (waktu)
untuk beramal kebajikan? Yaitu hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma:
عَنْ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا
وَرَاكِبًا وَكَانَ عَبْدُ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَفْعَلُهُ. رواه
البخاري
“Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mendatangi Masjid Quba’ setap
hari sabtu, dengan berjalan kaki dan berkendaraan.” Abdullah bin Umar
radhiyallahu ‘anhu juga selalu melakukannya. (HR. al-Bukhari, [1193]).
Hadits di atas menjadi dalil bolehnya
menetapkan waktu-waktu tertentu secara rutin untuk melakukan ibadah dan
kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan hari Sabtu
sebagai hari kunjungan beliau ke Masjid Quba’. Beliau tidak menjelaskan
bahwa penetapan tersebut, karena hari Sabtu memiliki keutamaan tertentu
dibandingkan dengan hari-hari yang lain. Berarti menetapkan waktu
tertentu untuk kebaikan, hukumnya boleh berdasarkan hadits tersebut.
Karena itu al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata:
وفي
هذا الحديث على اختلاف طرقه دلالة على جواز تخصيص بعض الأيام ببعض الأعمال
الصالحه والمداومه على ذلك وفيه أن النهي عن شد الرحال لغير المساجد
الثلاثه ليس على التحريم
“Hadits ini, dengan jalur-jalurnya yang
berbeda, mengandung dalil bolehnya menentukan sebagian hari, dengan
sebagian amal saleh dan melakukannya secara rutin. Hadits ini juga
mengandung dalil, bahwa larangan berziarah ke selain Masjid yang tiga,
bukan larangan yang diharamkan.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari,
juz 3 hlm 69).
Ibnu Hajar al-Asqalani terkait hadits
al-Bukhari (1149), Muslim (6274) tentang sahabat Bilal bin Rabah juga
memberikan penjelasan sebagai berikut:
ويستفاد منه جواز الاجتهاد في توقيت العبادة لأن بلالا توصل إلى ما ذكرنا بالاستنباط فصوبه النبي صلى الله عليه و سلم
“Dari hadits tersebut dapat diambil
faedah, bolehnya berijtihad dalam menetapkan waktu ibadah. Karena
sahabat Bilal mencapai derajat yang telah disebutkan berdasarkan
istinbath (ijtihad), lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
membenarkannya.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 3 hlm 34).
Itulah yang umat Islam jadikan dasar
menentukan hari untuk ber-amal kebajikan seperti Tahlilan, kajian Islam,
dan sebagainya, bukan kitab agama lain. Umat Islam tidak menjadikan
kitab agama lain sebagai dasar amaliyah mereka. Mengapa umat Islam tahu
tentang bolehnya menentukan hari untuk beramal kebajikan? Karena mereka
belajar Islam dari ulama yang tepat. (Muslimedianews)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar