Syair
yang berisi pujian kepada kepada Allah, atau kepada Rasul-Nya , atau
pembelaan terhadap Islam, dan yang memuat hal-hal yang benar merupakan
sebuah kebaikan dan boleh didendangkan di dalam masjid. Akan tetapi,
jika syair tersebut berisi kalimat-kalimat cacian, pembelaan terhadap
bid’ah yang sesat, ajakan kepada maksiat, maka ia adalah sesuatu yang
buruk[1] dan tidak boleh didendangkan baik di dalam maupun di luar
masjid.
Senin, 18 Mei 2015
Jumat, 15 Mei 2015
AMALAN DI BULAN SYA’BAN
AMALAN DI BULAN SYA’BAN
Oleh : Buya Yahya
Pengasuh LPD Al-Bahjah – Cirebon
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ حَمْدًا يُوَافِيْ نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَهُ يَارَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِيْ لِجَلاَلِ وَجْهِكَ وَلِعَظِيْمِ سُلْطَانِكَ سُبْحَانَكَ لاَنُحْصِيْ ثَنَاءًا عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلىَ نَفْسِكَ فَلَكَ الْحَمْدُ وَلَكَ الشُّكْرُ عَلىَ ذَلِكَ.
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ الْبَشِيْرِ وَالنَّذِيْرِ الَّذِيْ تَنْفَتِحُ بِهِ أَبْوَابُ الْخَيْرِ وَتَنْغَلِقُ بِهِ أَبْوَابُ الشَّرِّ وَعَلَى آلِهِ اْلأَطْهَارِ وَأَصْحَابِهِ الأَخْيَارِ.
وَلاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيٍّ الْعَظِيْمِ,أَمَّا بَعْدُ.
Kamis, 14 Mei 2015
Bukankah Tuhan Telah Menetapkan Jodoh Kita?
Semakin dewasa, akhir pekan kian terasa berbeda. Sekarang bukan lagi masanya menggulung diri di dalam selimut, mandi sekali sehari, lalu nonton serial TV seharian. Undangan pernikahan teman yang hampir tiap weekend datang harus dihadiri sebagai tanda penghormatan.
Perasaan
bahagia saat melihat teman seperjuangan bersanding dengan pasangan pilihannya
sering diikuti dengan pertanyaan yang muncul tanpa diminta,
“Duh,
besok bakal bersanding di pelaminan sama siapa ya?”
“Jodoh
gue besok kayak gimana ya? Ketemunya masih lama nggak ya?”
Rasa
cemas, insecure sebab masih sendiri
di usia yang kata orang sudah matang membuat kita merasa harus segera mengikuti
jejak mereka. Urusan jodoh, tanpa sadar menjadikan kita manusia yang selalu
khawatir — sampai benar-benar jadi pasangan sah di depan negara dan agama.
Padahal
jika mau bersabar sedikit saja– bukankah jodoh itu sebenarnya sederhana?
Selama
ini kita seperti pecinta alam dan sutradara yang terlampau kreatif. Menerka dan
membuka jalan, yang sebenarnya belum tentu diamini oleh Tuhan. Kita adalah
manusia yang terlampau kreatif dalam mengarang cerita.
Kita
adalah manusia yang terlampau kreatif dalam mengarang cerita.
Ada
satu orang sahabat saya yang cuek setengah mati soal urusan cinta. Sampai ulang
tahunnya yang ke-24 dia memegang trofi sebagai jomblo abadi. Isi hidupnya hanya
kuliah, segala urusan organisasi, ikut penelitian dosen, kumpul-kumpul bersama
kami, lalu belakangan ikut kursus pra nikah sesekali. Dengan statusnya yang
masih sendiri.
Tapi
anehnya sahabat saya ini tidak pernah merasa kekurangan. Di wajahnya selalu
bisa kami temukan senyum bahagia, bahkan lebih tulus dari kami yang ditemani
pacar ke mana-mana. Dia adalah orang yang berapi-api soal cita-cita. Tak harus
dihadapkan pada kegalauan saat ngambek dengan pacar membuatnya bisa
menghabiskan waktu untuk banyak menulis dan membaca.
Plot twist
pun tiba. Saat kami masih galau soal pekerjaan pertama dan perkara membawa
hubungan cinta ke arah mana — kami mendapat kabar bahwa jomblo abadi ini akan
menikah dengan pria yang selama ini jadi kawan satu organisasinya. Akad akan
dilakukan segera selepas lamaran, demi menghindari hal-hal yang keluar dari
ajaran.
Geli
rasanya. Kami yang sudah berinvestasi waktu pun perasaan dalam ikatan pacaran
sekian lama justru belum berani mengikuti jejaknya. Menghadiri prosesi akadnya
seperti membawa kaca ke depan muka:
Jika
mau jujur sedikit saja, sebenarnya berapa banyak waktu kita yang sudah terbuang
sia-sia?
Saat
kami menghabiskan masa muda dengan meratapi sakit hati, dia justru bebas loncat
dari satu organisasi ke lembaga kemasyarakatan yang menarik hati. Dia boleh
jadi tak merasakan debaran saat bertukar rayuan manis dengan pacar, tapi justru
pernikahannya membuat kami sedikit gusar.
Ketika
kami terlalu sibuk bertukar janji demi masa depan bersama, sahabat saya ini
justru langsung berani menjalaninya — bersama pria pilihannya.
Berkaca
dari banyak pengalaman ternyata yang dibutuhkan hanya kemantapan dan sedikit
kenekatan. Membangun masa depan tak memerlukan keahlian yang dibiakkan dari
pacaran. Membangun masa depan ternyata tak butuh keahlian dari pacaran
Seringkali
kalkulasi manusia dan kalkulasi Tuhan berjalan di platform yang berbeda. 1095 hari bersama tidak membawa kemantapan
yang sudah ditunggu sekian lama. Kita masih sering memandang wajah orang yang
sudah kita genggam tangannya bertahun-tahun lamanya, kemudian membayangkan
apakah masa depan benar-benar layak dijalani bersamanya.
Hubungan
yang sudah sempurna di mata orang-orang bisa kandas. Perasaan yang kuat
ternyata bisa hilang. Bersisian sekian lama, menerka masa depan berdua ternyata
tidak menjanjikan apa-apa. Jika memang tidak ada niatan baik untuk membawa
hubungan ini ke arah selanjutnya.
Inilah
kenapa kisah-kisah “bertemu-orang-yang-tepat” setelah putus dari pacaran
bertahun-tahun bermunculan. Kenekatan kerap muncul setelah dikecewakan.
Keinginan membangun komitmen ternyata perlu didorong oleh hati yang sudah lelah
menghadapi perihnya kegagalan. Ibarat lari maraton panjang, selepas garis
finish kita hanya ingin meregangkan otot yang tegang — dalam sebuah
peristirahatan yang jauh dari kata menantang.
Ternyata
keyakinan untuk bisa membangun masa depan bersama tidak membutuhkan training bertahun-tahun lamanya. Kita
bisa mengeliminasi keharusan PDKT, ratusan kali kencan, dan episode drama yang
jumlahnya melebihi jari tangan.
Dalam
banyak kasus, justru kemantapan itu datang setelah memantaskan diri sebagai
pribadi — selepas dipertemukan dengan orang yang juga sudah selesai dengan
dirinya sendiri.
Jodoh
toh bukan aljabar yang harus membuat kita sakit kepala. Bahkan prosesi
peresmiannya berlangsung tak lebih dari hitungan menit saja. Haruskah kita
galau pada prosesi yang berlangsung dalam hitungan menit saja?
Bukankah
tujuan akhir dari selalu ke mana-mana berdua adalah ucapan dalam satu hela
nafas,
“Saya
terima nikahnya!”
Lucu
bukan, jika kita rela menghabiskan waktu bertahun-tahun lamanya demi prosesi
yang berlangsung bahkan lebih singkat dari wisuda?
Semakin
dewasa, setelah jadi saksi bagaimana kawan-kawan menemukan pasangan hidupnya —
pandangan kita terhadap jodoh justru akan makin sederhana. Ini bukan lagi soal
kencan kemana, memperindah diri dengan baju apa, sampai berapa lama sudah
saling mendampingi dan memanggil sayang ke depan muka.
Jodoh
ternyata tak lebih dari soal keberanian, kesiapan sebagai pribadi bertemu
dengan peluang, keyakinan bahwa hidup tak lagi layak diperjuangkan sendirian.
Konsep jodoh yang dengan jelas sudah disiapkan Tuhan sebenarnya tidak menuntut
kita untuk galau menantikannya.
Toh
dia pasti akan datang sendiri. Bukankah Tuhan tidak akan bermain-main dengan
janji?
Kita-kita
ini saja yang suka lebay mendramatisir suasana. Merasa paling merana jika belum
menemukannya. Merasa hidup kurang sempurna jika belum bertemu pasangan yang
bisa menggenapkan separuh jiwa. Padahal jika memang sudah waktunya, pintu jodoh
itu akan terbuka dengan sendirinya. Mudah, sederhana, bahkan kadang tanpa
banyak usaha.
Kalau
memang bukan garisnya, diikat pakai batu akik pun, tak akan jadi jodoh kita
seorang anak manusia. Jika memang begini hukumnya — haruskah kita galau dan
bercemas diri lama-lama? Haruskah
kita galau lama-lama?
Pertunangan
bisa gagal, khitbah bisa dibatalkan,
pun resepsi bisa di-cancel beberapa
jam sebelum perhelatan. Ikatan sebelum pernikahan (ternyata) tidak layak
membuat kita merasa aman, pun bangga karena merasa sudah punya pasangan. Sebab
ternyata tak ada yang bisa memberi jaminan.
Janji-janji
manis yang sudah terucap sebelumya tidak akan berarti apa-apa sampai ada tanda
sah di depan negara dan agama. Cincin berlian, atau bahkan batu akik yang
sedang hits itu tak akan membantu apapun, jika memang jalan hidup berkata
sebaliknya.
Daripada
mencemaskan yang sudah tergariskan, mengapa kita tidak mengusahakan yang bisa
diubah lewat usaha keras? Rezeki, pekerjaan, membuka kesempatan untuk kembali
studi di luar negeri, sampai memutar otak demi membahagiakan orangtua yang
sudah tak semandiri dulu lagi misalnya? Hal-hal itu lebih layak mengakuisisi
ruang otak kita dibanding terus-terusan galau memikirkan pasangan yang sudah
jelas dipersiapkan oleh yang Maha Kuasa.
Akan
tiba masanya, ketika kita memandang orang yang tertidur dengan lelap di sisi
kanan sembari tersenyum. Ternyata begini jalannya. Ternyata inilah jodoh kita
yang telah disiapkan oleh Tuhan. Suatu hari, semua kecemasan yang memenuhi
rongga kepala ini hanya akan jadi bahan tertawaan saja.
Bolehkah
mulai sekarang kita berusaha lalu berserah saja? Sebab pada akhirnya, jodoh toh
sebenarnya sederhana.
Sumber:
hipwee.com
Mengapa Muslim Memanggil non-Muslim dengan Sebutan Kafir?
Jawaban:
1. Kafir berarti orang yang menolak.
'Kafir' berasal dari kata 'kufur', yang berarti menyembunyikan atau menolak. Dalam istilah Islam, 'Kafir' berarti orang yang menyembunyikan atau menolak kebenaran Islam dan orang yang menolak Islam. Dalam bahasa Indonesianya, orang-orang yang menolak Islam disebut 'non-Muslim.' Jadi ketika seorang Muslim menyebut mereka dengan istilah ‘kafir’, ini bukan bermaksud melecehkan, melainkan sebutan ‘kafir’ ini sama dengan menyebut mereka ‘non-Muslim.’
2. Jika ada non-Muslim yang merasa dilecehkan karena disebut kafir, maka mereka harus menerima Islam.
Jika ada non-Muslim yang menganggap kata 'kafir' (non-Muslim) sebagai pelecehan, ia dapat memilih untuk masuk Islam, maka umat Muslim akan berhenti menyebut dirinya sebagai kafir atau non-Muslim.
Selasa, 12 Mei 2015
Asal Mula Peci, Simbol dari Kepribadian Bangsa Indonesia
Di Indonesia sendiri ada topi khas yang bernama ‘peci’. Dan begitu
populer di Indonesia yang biasa dipakai untuk shalat, berpidato atau
untuk memakainya sehari-hari, apalagi peci sering dipakai oleh
Proklamator Bangsa, Ir. Soekarno. Tapi tahukah anda darimana asal Peci
tersebut ?
Dan yang menjadi pertanyaan di benak anda, “dari manakah asalnya dan kenapa begitu populer dan kenapa banyak orang yang memakainya sehari-hari dan juga untuk shalat ? ” . Mungkin di benak anda terlintas pemikiran seperti itu.
Mungkin inilah jawaban dari sekian pertanyaan anda :
Sejarah Awal Peci
Peci sendiri berasal dari Turki, di Turki topi Fez ini juga dikenal dengan nama ‘fezzi’ atau ‘phecy’ atau kalau lidah orang Indonesia menyebutnya dengan Peci. Jika dirunut ke belakang, topi Fez ini berasal dari budaya Yunani Kuno dan diteruskan oleh budaya Yunani Byzantium.
Ketika Turki Ottoman mengalahkan Yunani Byzantium (Anatolia) maka Turki Ottoman mengadopsi budaya penggunaan topi fez ini terutama ketika pemerintahan Sultan Mahmud Khan II (1808-1839). Peci yang dibawa dari Turki membawa pengaruh budaya yang besar apalagi di Asia Tenggara sendiri, beberapa negara juga mengenal peci seperti Malaysia, Singapura dan Brunei.
Di Thailand peci disebut songkok. Lain halnya dengan di Mesir, Peci disebut tarboosh dan di Asia Selatan (India dan sekitarnya) disebut Romap Cap/Rumi Cap yang artinya Topi Romawi. Namun, ada yang mengatakan bahwa Peci hasil modifikasi dari sorban Arab dengan blangkon dari Jawa. Peci sendiri mulai menyebar di rumpun Melayu pada abad ke-13, seiring dengan perkembangan Islam di Nusantara.
Kenapa Jadi Ikon Nasional dan Begitu Terkenal di Indonesia ?
Peci memang khas umat Islam, tapi patut diingat peci juga ikon nasional. Siapa pun berhak memakai peci sebagai lambang identitas Indonesia. Inilah yang digagas oleh Soekarno, sang Founding Father negeri ini.
Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, sang penulis Cindy Adams menuturkan kisahnya begini…
Dan karena popularitas Soekarno-lah sehingga kemudian pemakaian peci begitu memasyarakat di Indonesia. Jadi, kalau dahulu warga Indonesia dikenali di luar negeri dengan ciri khas pecinya, kenapa sekarang tidak? Tidak perlu takut akan di klaim oleh negara tetangga. Peci adalah salah satu simbol yang juga menjadikan Indonesia terkenal di dunia dalam sejarah panjang negeri ini.
Semoga dengan warisan budaya berupa peci dan orang yang memakainya memaknai bahwa dia benar-benar orang indonesia yang punya harkat dan martabat tinggi di mata bangsa lain dan terutama di mata bangsa sendiri.
Sumber :
sangpencerah.com
Dan yang menjadi pertanyaan di benak anda, “dari manakah asalnya dan kenapa begitu populer dan kenapa banyak orang yang memakainya sehari-hari dan juga untuk shalat ? ” . Mungkin di benak anda terlintas pemikiran seperti itu.
Mungkin inilah jawaban dari sekian pertanyaan anda :
Sejarah Awal Peci
Peci sendiri berasal dari Turki, di Turki topi Fez ini juga dikenal dengan nama ‘fezzi’ atau ‘phecy’ atau kalau lidah orang Indonesia menyebutnya dengan Peci. Jika dirunut ke belakang, topi Fez ini berasal dari budaya Yunani Kuno dan diteruskan oleh budaya Yunani Byzantium.
Ketika Turki Ottoman mengalahkan Yunani Byzantium (Anatolia) maka Turki Ottoman mengadopsi budaya penggunaan topi fez ini terutama ketika pemerintahan Sultan Mahmud Khan II (1808-1839). Peci yang dibawa dari Turki membawa pengaruh budaya yang besar apalagi di Asia Tenggara sendiri, beberapa negara juga mengenal peci seperti Malaysia, Singapura dan Brunei.
Di Thailand peci disebut songkok. Lain halnya dengan di Mesir, Peci disebut tarboosh dan di Asia Selatan (India dan sekitarnya) disebut Romap Cap/Rumi Cap yang artinya Topi Romawi. Namun, ada yang mengatakan bahwa Peci hasil modifikasi dari sorban Arab dengan blangkon dari Jawa. Peci sendiri mulai menyebar di rumpun Melayu pada abad ke-13, seiring dengan perkembangan Islam di Nusantara.
Kenapa Jadi Ikon Nasional dan Begitu Terkenal di Indonesia ?
Peci memang khas umat Islam, tapi patut diingat peci juga ikon nasional. Siapa pun berhak memakai peci sebagai lambang identitas Indonesia. Inilah yang digagas oleh Soekarno, sang Founding Father negeri ini.
Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, sang penulis Cindy Adams menuturkan kisahnya begini…
Pemuda itu masih berusia 20 tahun. Dia tegang. Perutnya mulas. Di belakang tukang sate, dia mengamati kawan-kawannya, yang menurutnya banyak lagak, tak mau pakai tutup kepala karena ingin seperti orang Barat.Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka.” Itulah awal mula Soekarno mempopulerkan pemakaian peci. Karena itulah Bung Karno lalu memperkenalkan pemakaian peci yang kemudian menjadi identitas resmi.
Dia harus menampakkan diri dalam rapat Jong Java itu, di Surabaya, Juni 1921. Tapi dia masih ragu. Dia berdebat dengan dirinya sendiri. “Apakah engkau seorang pengekor atau pemimpin?” “Aku seorang pemimpin.” “Kalau begitu, buktikanlah,” batinnya lagi.
“Majulah. Pakai pecimu. Tarik nafas yang dalam! Dan masuklah ke ruang rapat… Sekarang!” Setiap orang ternganga melihatnya tanpa bicara. Mereka, kaum intelegensia, membenci pemakaian blangkon, sarung, dan peci karena dianggap cara berpakaian kaum lebih rendah.
Dia pun memecah kesunyian dengan berbicara: “Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia.
Dan karena popularitas Soekarno-lah sehingga kemudian pemakaian peci begitu memasyarakat di Indonesia. Jadi, kalau dahulu warga Indonesia dikenali di luar negeri dengan ciri khas pecinya, kenapa sekarang tidak? Tidak perlu takut akan di klaim oleh negara tetangga. Peci adalah salah satu simbol yang juga menjadikan Indonesia terkenal di dunia dalam sejarah panjang negeri ini.
Semoga dengan warisan budaya berupa peci dan orang yang memakainya memaknai bahwa dia benar-benar orang indonesia yang punya harkat dan martabat tinggi di mata bangsa lain dan terutama di mata bangsa sendiri.
Sumber :
sangpencerah.com
Minggu, 10 Mei 2015
Dialog Panjang Syeikh Sa’id Ramadhan Al-Buthi & Syeikh Al-Albani
ADA sebuah perdebatan yang menarik tentang ijtihad dan taqlid, antara
Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, seorang ulama Ahlussunnah wal
Jama’ah di Syria, bersama Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, seorang
tokoh Wahhabi dari Yordania.
Sabtu, 09 Mei 2015
Tentang Syubhat
Istilah syubhat punya banyak makna dan
pengertian. Setidaknya ada empat jenis pengertian tentang syubhat
menurut para ulama. Tetapi dari keempat pengertian makna syubhat itu
tidak ada satupun yang maknanya haram. Keempat makna itu adalah :
Jumat, 01 Mei 2015
Rahasia Wajah yang Tampak Bercahaya
Bila Anda ingin mendapatkan pancaran cahaya di wajah, Anda dapat melakukan beberapa rahasia berikut ini.
1. Rahasia pertama adalah berbuat kebaikan
“Sesungguhnya kebaikan itu membuahkan semburan cahaya di wajah, lentera di hati, meluasnya rezeki, kuatnya badan, rasa cinta di hati orang. Dan sungguh dalam keburukan terdapat kepekatan di wajah, kegelapan di kubur, kelemahan badan, kurangnya rezeki, dan kebencian di hati orang,” (Abdullah bin Abbas).
Kalau berdasarkan atsar Ibnu Abbas di atas, berarti salah satu penyebab wajah bercahaya adalah berbuat kebaikan. Orang yang suka berbuat baik, maka hatinya menjadi tentram dan akan keluar sebuah senyuman yang murni dan tulus dari hatinya yang baik. Kebaikan hati itu pun terpancar melalui wajahnya.
2. Rahasia kedua adalah shalat tahajud
Ulama kharismatik kota Basrah, Al Hasan Al Basri pernah ditanya oleh seseorang, “Kenapa orang-orang yang membiasakan diri shalat tahajjud di malam hari mukanya tampah cerah, berseri-seri dan berwibawa?” Beliau menjawab, “Karena mereka selalu bercengkerama dengan Allah SWT di kegelapan malam, maka Dia pun memberikan kepada mereka cahaya dari cahaya-Nya.”
Dalam kaitan ini Said bin Al Musayyab RA berkata, “Sesungguhnya orang yang selalu salat malam, Allah akan menjadikan pada wajahnya sinar, sehingga dia dicintai oleh seluruh umat, bahkan orang yang belum mengenalnya sekalipun. Orang akan berkata, “Aku sungguh menyenangi orang ini.”
Orang yang memiliki wajah bercahaya itu, waktu malamnya digunakan untuk bermunajat kepada Allah SWT. Ia terbangun dari tidur yang menyelimutinya. Apabila siang menjelang, mereka jauh dari kehidupan yang serba nikmat. Allah lah yang memberikan cahaya pada orang yang menggunakan waktunya dengan baik dan memperbaiki kesalahan-kesalahannya. Yang matanya disibukkan dengan tangis karena merasa melakukan hal-hal yang diharamkan. Lisannya tertahan -dalam diamnya- dari hal-hal yang menghancurkan. Tangannya tertahan, karena takut terjerumus syahwat. Langkahnya terkendali dengan muhasabah.
3. Rahasia ketiga adalah berwudhu
“Sesungguhnya umatku akan dipanggil pada hari kiamat nanti dalam keadaan dahi, kedua tangan dan kaki mereka bercahaya, karena bekas wudhu,” (HR. Al Bukhari no. 136 dan Muslim no. 246).
Dapat dipastikan tak ada satu produk kecantikan pun yang mampu menandingi cahaya yang terpancar dari wajah orang-orang yang terjaga wudhunya. Karena cahaya dari air wudhu tak hanya dirasakan di dunia tapi di hari kiamat pun mereka akan mudah dikenali Rasulullah SAW. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits, “Bagaimana engkau mengenali umatmu setelah sepeninggalmu, wahai Rasulullah?” Kemudian Rasulullah menjawab, “Tahukah kalian bila seseorang memilki kuda yang berwarna putih pada dahi dan kakinya diantara kuda-kuda yang yang berwarna hitam yang tidak ada warna selainnya, bukankah dia akan mengenali kudanya?” Para shahabat menjawab, “Tentu wahai Rasulullah.” Rasulullah berkata, “Mereka (umatku) nanti akan datang dalam keadaan bercahaya pada dahi dan kedua tangan dan kaki, karena bekas wudhu mereka,” (HR. Mslim no. 249).
4.Rahasia keempat adalah berpuasa
Beberapa tahun lalu salah seorang muslimah melihat seorang wanita yang memancarkan wajah yang berbeda dari wanita lain. Orang-orang senang dengan kehadirannya dan merasa kehilangan ketika dia tidak ada. Sebenarnya wajah wanita itu biasa saja bahkan berkulit hitam. Awalnya muslimah itu mengira hanya dia yang mempunyai prasangka tentang pancaran wajahnya. Ternyata teman-temannya pun menyatakan hal yang sama. Dia pun berusaha untuk mencari tahu apa yang membuat wajah wanita ini begitu menarik.
Muslimah itu curiga, dia pasti melakukan ibadah sunah secara rutin. Ketika ada kesempatan, hal itu ditanyakan kepadanya. Awalnya wanita yang memiliki wajah bercahaya itu tidak mau menjawab. Setelah didesak, dia baru mengaku bahwa selama lima tahun, dia terus menerus puasa senin-kamis dan apabila haid pada hari itu, dia menggantinya dengan puasa daud. Wanita ini juga hampir setiap malam salat tahajud. Luar biasa. Ini adalah salah satu bukti, bahwa kedekatan kita kepada Allah akan menimbulkan pancaran keagungan. Hal ini sangatlah wajar karena apa saja yang mendekati sumber cahaya, dia akan terkenana pancaran cahaya. [rika/islampos/nikenpuspitasari]
Langganan:
Postingan (Atom)